REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Korupsi di Indonesia sudah akut. Karena itu, sangat sulit untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di birokrasi dan masyarakat. Sosiolog Imam Prasodjo menyarankan, pemberantasan dan pencegahan korupsi sudah tidak efektif lagi. Sebagai bukti, korupsi semakin menggila, meski KPK sudah menangkap banyak koruptor.
Karena itu, ia menyarankan langkah ekstrem agar korupsi tidak terjadi lagi. Tidak hanya dihukum penjara, saran dia, koruptor juga harus dipermalukan lantaran moralnya sudah rusak.
“Saran saya bikin monumen, jadikan mereka itu sebagai ‘pahlawan’ koruptor. Kalau orang sudah kelewatan maka koruptor perlu diabadikan karena bisa sebagai contoh agar menjadi ‘teladan’ manusia,” kata Imam dalam diskusi yang diadakan Ikatan Alumni Lemhannas 49 bersama YES Indonesia, Rabu (19/2).
Mantan ketua pansel KPK itu menyebut, kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah bagus. Namun, faktor pendorong orang untuk berbuat korup harus juga diantisipasi.
“Jangan sistemnya saja yang diperkuat berlapis-lapis, tapi dorongan keserakahan itu juga yang juga harus ditahan. Republik ini sudah berisi kubangan kotor seperti ini. Hanya keberanian yang belum ada,” kata Imam.
Ketua YES Indonesia Lisyanto mengatakan, perkembangan pencegahan korupsi di Indonesia saat ini harus didorong agar lebih optimal. Khusus untuk mitigasi terhadap praktik korupsi yang berpotensi secara laten dalam penyelenggaraan birokrasi perlu diperkuat.
Berdasarkan regresi linier dengan data indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2000 hingga 2013, bila tidak ada terobosan baru maka Indonesia diperkirakan baru bebas praktik korupsi 44 tahun lagi.
Hal itu mengacu pada grafik 2012 dan 2013, target IPK masing-masing adalah 3,5 dan 4,25. Tetapi, pada dua tahun tersebut target IPK baru tercapai 3,2. “Bila prediksi dilanjutkan, maka IPK 8 yang menjadi target pemerintah baru tercapai tahun 2058,” ujar Listiyanto.