REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai, KPK berhak mengingatkan sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dan KUHP yang sifatnya menganggu penegakan hukum. Ini terkait kapasitas KPK sebagai pengguna undang-undang tersebut.
Namun, bukan berarti kewenangan mereka terkait dengan membatalkan atau menunda revisi. "KPK hanya bisa memberikan masukan terhadap hal atau pasal yang menjadi kepentingannya," kata Gayus, Rabu (26/2).
Ia menilai, KUHP memiliki kompleksitas yang luar biasa. Bukan hanya soal korupsi. Karenanya, keberatan KPK harus berkaitan dengan kinerja mereka. Sebab, RUU tersebut memuat lebih dari 700 pasal mencangkup lex generalis, bukan hanya korupsi.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur mengatakan, sebagai pengguna aturan tersebut tentunya ingin yang terbaik. Pesannya, jangan sampai ada kekosongan hukum saat aturan itu diundangkan.
Akibatnya ada hukum acara krusial yang tidak bisa dilaksanakan. "MA tidak menyatakan pendapat menolak RUU KUHP dan KUHAP, kami hanya minta yang terbaik," ujarnya.
Ketua Komisi Yudisial, Marzuki Suparman menambahkan, RUU tersebut harus betul-betul memuat penyempurnaan hukum yang relevan dengan kondisi sekarang.
Ia meminta agar tidak ada pasal multitafsir yang menyulitkan hakim dalam membuat putusan. "Aturan itu harus menjangkau jauh ke depan, dan jangan memperlemah tindak pidana koruspsi," ujarnya.