REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU 286 Ayat 3 tentang KUHAP perihal peninjauan kembali (PK) proses persidangan menuai kritik. Dengan aturan hukum baru tersebut, nilai dari kekuatan PK yang selama ini dianggap sebagai upaya hukum luar biasa menjadi upaya hukum biasa.
“Secara universal, PK dikenal di dunia sebagai upaya hukum luar biasa yang hanya bisa dilakukan sekali,” ujar ahli hukum asal Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji di Jakarta Senin (10/3).
Pakar hukum bergelar professor ini mengatakan, nilai dari PK seharusnya masih bisa dijaga oleh Mahkamah Agung (MA) meskipun putusan MK berkata lain. Dia berujar, MA dapat menerbitkan Peraturan MA (Perma) untuk tetap menjaga nilai luar biasa dari PK. Dengan demikian, batasan agar PK tidak diajukan berkali-kali masih bisa diterapkan.
Menurut dia, PK yang bisa diajukan berkali-kali akan menggerus kepastian hukum dari seorang terpidana. Sehingga, penting bagi MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di negeri ini turun tangan memberikan patokan agar permohonan PK tidak kebablasan oleh terpidana.
“MA punya itu kekuatan legislatif untuk membuat aturan agar PK tidak terlalu banyak masuk ke mereka, ,” papar dia.
Ia melanjutkan, maka untuk menyiasati agar PK tidak terus masuk ke MA, di sini peran pengadilan negeri (PN) dan tinggi (PT) harus dimaksimalkan. Kedua lembaga peradilan di bawah MA bisa difungsikan sebagai penyaring permohonan PK sebelum naik untuk ditinjau oleh MA.
Mana kala PN atau PT meniai isi dari novum PK yang dimohonkan tidak berisi bukti baru, dari tingkatan ini draft upaya hukum itu bisa dihentikan. Efek positifnya, MA tidak akan kebanjiran permohonan langsung PK dari para terpidana.
“Ini penting, karena dengan aturan baru, jelas para terpidana akan memanfaatkannya dengan terus mengajukan permohonan PK ke MA,” ujar dia.