Kamis 13 Mar 2014 13:41 WIB

Lanjutan Daftar Penyebab Dwelling Time di Empat Pelabuhan

 Petugas mengawasi proses penurunan Bus Tingkat Wisata di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (14/1). ( Republika/Adhi Wicaksono)
Petugas mengawasi proses penurunan Bus Tingkat Wisata di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (14/1). ( Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ini dia daftar penyebab terjadinya dwelling time di empat pelabuhan. ROL menerima laporan ini dari Lembaga negara pelayanan publik Ombudsman, Kamis (13/3). Rencananya, temuan ini akan disampaikan ke Menko Perekonomian dan instansi terkat lainnya hari ini.

Berikut lanjutan penyebab terjadinya dwelling time di empat pelabuhan ....

8.Belum ada sinergitas antara Bea Cukai dan Karantina dan banyak terjadi komoditas yang telah customs clearance tetapi masih harus diperiksa Karantina. Terdapat ketidaksinergisan antara manajemen resiko Bea dan Cukai (Sistem Penjaluran) dengan manajemen resiko karantina yang mengakibatkan dapat tercemarnya hama dan kerugian bagi kepentingan nasional serta pelaku usaha.

9.Pemeriksaan Fisik masih lama ( Customs Clearance).Pemeriksaan fisik masih lama dikarenakan pelayanan 24 jam tidak maksimal, keterbatasan YOR, Keterbatasan SDM pemeriksa Bea & Cukai, masih lamanya proses penarikan kontainer ke lokasi behandle serta tidak dimaksimalkan waktu yang ada oleh para pemilik kontainer.

10.Belum semua Pelabuhan memiliki sarana dan infrastruktur yang memadai, seperti TPFT    Beberapa pelabuhan belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menunjang kegiatan ekspor dan impor. Seperti keterbatasan Kontainer Crane, Forklift, Hi-CO Scanner, serta tempat pemeriksaan customs dan karantina yang tidak memadai seperti yang terjadi di Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Soekarno Hatta Makasar dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

11. Keterlambatan Pengajuan Impor Kontainer (PIB). Terjadi keterlambatan yang signifikan pada pengajuan manifest (BC.1.1) ke Bea dan Cukai oleh kapal-kapal yang datang dari transhipment di Singapura dan Malaysia.

 

Informasi manifest diperlukan untuk mengajukan PIB, jadi keterlambatan mendapatkan BC.1.1. berakibat pada waktu dimulainya proses perizinan kepabeanan.

Pembayaran Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) pada bank ditunjuk pembayaran tidak langsung ditransfer oleh bank ke Kas Perbendaharaan Negara tetapi dikumpulkan dan ditransfer sore hari secara bersama–sama, padahal pemilik kontainer sudah dibebani biaya administrasi oleh bank.

12.Kinerja proses pemeriksaan kontainer jalur merah (behandle) yang belum optimal.

a.Menambah lamanya waktu Pemeriksaan Fisik Kontainer Jalur Merah.

b.Pengalokasian petugas pemeriksa masih bersifat umum, tidak berdasarkan zona atau lokasi tertentu.

c.Kurang tersedianya SDM Pemeriksa.

d.Hasil pemeriksaan kontainer diharapkan dapat selesai kurang dari 3 hari sampai proses respon (SPPB/ Notul).

e.Belum terakomodir dalam peraturan di Kepabeanan.

f.Pemeriksaan karena jabatan masih terkendala dilaksanakan terhadap kontainer yang siap diperiksa karena tidak di hadiri oleh importir atau kuasanya.

13. Empat pelabuhan yang ditetapkan Kementerian Pertanian sebagai pelabuhan masuk import holtikutura belum memiliki instalasi karantina yang memadai.Sarana IKT/IKHS diserahkan kepada pihak ketiga sehingga penentuan tarif ditentukan oleh pihak ketiga, misalnya oleh PT. Catur Batavia di Pelabuhan Belawan untuk pemeriksaan low risk dikenakan biaya Rp. 250 ribu.

Infrastruktur dan kondisi laboratorium belum mendukung seluruhnya tugas karantina serta terbatasnya SDM laboratorium.  Kondisi ini  menyebabkan biaya tinggi dan rawan masuknya hama.

14.Tindakan karantina belum dapat dilakukan secara optimal, termasuk mengakibatkan adanya kontainer longstay di Pelabuhan.   

a.Kesalahan system, Menajemen Risiko Bea dan Cukai dalam hal ini Sistem Penjaluran Bea dan Cukai (jalur Merah, Hijau, Prioritas dll) belum bersinergi dengan Manajemen Risiko Karantina sehingga kontainer sudah SPPB belum diperiksa karantina. (Respon KT-2; KH-5 ke INSW bukan sebagai respon release karantina sementara Bea dan Cukai merespon dengan SPPB sebagai release dari pelabuhan).  Akibatnya kontainer sulit terkontrol bahkan ketika harus ditolak atau dimusnahkan karena mengandung penyakit berbahaya maka bermasalah, kontainer tidak dapat di re-ekspor sementara pemilik sudah membayar bea masuk.

b.Karantina belum mendapatkan informasi data muatan kapal/manifest, akibatnya semua kontainer wajib periksa karantina tanpa persetujuan karantina terpaksa diturunkan di pelabuhan termasuk kontainer tanpa dokumen yang lengkap. Akibatnya banyak kontainer bermasalah di pelabuhan walaupun tanpa dokumen lengkap, hal ini mengakibatkan potensi penyelundupan.

c.Dokumen Bea Cukai BC.1.1. dipahami sebagai ijin bongkar semua consignment  termasuk kontainer wajib periksa karantina sehingga ketika kontainer wajib karantina ternyata bermasalah sudah terlanjur berada di dalam area Pelabuhan.

d.Karantina belum dapat melakukan pemeriksaan di pelabuhan sehingga pemeriksaan dilakukan di luar pelabuhan yaitu di gudang-gudang pemilik (IKT/IKHS) yang dikelola oleh pihak ketiga (swasta) yang jaraknya cukup jauh dari pelabuhan, tersebar di berbagai wilayah seperti Tangerang, Bekasi, Bandung, dan lain-lain.

Akibatnya pemeriksaan tidak optimal, tidak efektif dan tidak efisien, dan potensi lolos dari pemeriksaan sangat besar. Persyaratan IKHS sangat berat karena  diperlukan rekomendasi dari Pemerintah Daerah (Dinas Peternakan Bupati/Walikota dan Propinsi) dan prosesnya lama memakan waktu sampai 6 bulan sementara masa berlakunya hanya 1 tahun sehingga setiap tahun harus memperpanjang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement