REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review (pengkajian ulang) dari Yusril Ihza Mahendra mendapat tanggapan Wiranto. Ketua Umum DPP Partai Hanura tersebut menyayangkan dan menilai hal itu memasung hak politik partai dan terutama masyarakat.
"Keputusan MK itu juga bertentangan dengan UUD pasal 6 ayat 2. Dalam ayat itu disebutkan, capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu dilaksanakan," jelas Wiranto saat berada di pesawat dari Jakarta menuju Yogyakarta, Jumat (21/3).
Ia menambahkan, sesuai ketentuan UUD tersebut, setiap partai politik yang lolos atau ikut pemilu otomatis bisa mengajukan capres dan cawapres. Tak ada embel-embel, kata Wiranto, partai harus mendapat suara sekian persen dan lolos presidential threshold.
Dalam pandangan Wiranto, keputusan MK itu merupakan pemaksaan kehendak. Ini sekaligus juga menutup keinginan rakyat untuk mendapatkan calon presiden yang potensial.
"Calon-calon presiden yang terbaik dan memiliki kompetensi memadai akan terhambat untuk bisa ikut kompetisi. Hal itu berarti pula masyarakat tak mendapat keadilan," kilahnya.
Bagi Hanura, papar Wiranto, hal itu tak menjadi masalah. Memang tidak mudang untuk bisa mendapatkan angka presidential threshold yang mencapai 20 persen.
"Bukan tak mungkin angka 20 persen itu bisa kami capai. Kami akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan hal itu," ujarnya dalam siaran persnya yang diterima ROL.
Hanura akan terus melakukan gerakan dengan berpegang teguh pada hati nurani. Ini dimaksudkan agar nilai-nilai kebaikan dan kebenaranlah yang menjadi pegangan masyarakat dan kader Hanura.
Ia yakin masyarakat atau rakyat menginginkan perubahan. Perubahan itu, jelasnya, hanya akan datang dari pemimpin yang berkuallitas dan mumpuni.
"Kami sudah siap sejak Juli 2013 dengan menetapkan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo sebagai capres dan cawapres," kata dia. Karena itu, Hanura bertekad untuk terus mengusung pasangan ini dalam setiap kesempatan berkampanye.