Kamis 10 Apr 2014 16:28 WIB

Sisa Peledak AS Ancam Anak-Anak Afghanistan

Rep: Gita Amanda/ Red: Bilal Ramadhan
Ledakan di ladang ranjau (ilustrasi)
Foto: FLICKR
Ledakan di ladang ranjau (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL-- Rencana militer Amerika Serikat menarik diri dari Afghanistan, masih meninggalkan warisan mematikan. Sekitar 800 mil persegi wilayah Afghanistan, 'dikotori' oleh granat yang belum meledak, roket dan mortir.

Selama ini, puluhan anak-anak di dekat wilayah tersebut kerap terbunuh dan terluka akibat tersandung sisa persenjataan. Korban cenderung meningkat tajam dalam beberapa waktu terakhir. Militer AS selama ini mencoba menghapuskan sisa-sisa persenjataan, namun baru 3 persen yang berhasil dihilangkan.

Dilansir dari The Washington Post, pejabat militer AS mengatakan butuh waktu dan biaya besar untuk membersihkan sisa-sisa peledak di tanah seluas dua kali kota New York itu. Mereka berniat membersihkannya, namun masih kurang perencanaan dan dana pembersihan belum disetujui.

Dari keterangan pejabat militer AS, pembersihan area dari bahan peledak membutuhkan waktu dua hingga lima tahuh. Belum lagi biaya yang dibutuhkan dapat mencapai 250 juta dolar.

"Sayangnya banyak yang berpikir: 'Kami tengah berperang dan kami tak punya waktu untuk ini'," ujar Kepala Pusat Ranjau Angkatan Darat AS di Lapangan Udara Bagram  Mayor Michael Fuller.

Sementara itu, semakin banyak tragedi terjadi di area rawan bahan peledak tersebut.Salah satu insiden terjadi pada Mohammad Yusef (13 tahun) dan Sayed Jawad (14 tahun). Keduanya tubuh besar sekitar 100 meter dari lapangan tembak di Provinsi Ghazni.

Selama ini, lapangan tersebut kerap dijadikan tempat latihan militer oleh tentara AS dan Polandia. Kedua bocah itu, telah terbiasa dengan gemuruh ledakan. Bahkan tak jarang, kaca jendela mereka hancur saat latihan digelar.Sejumlah anak-anak laki-laki juga kerap mengembara ke wilayah tersebut.

Dengan pengetahuan yang minim, mereka mengumpulkan besi bekas dari tempat itu untuk dijual. Mereka tak tahu bahwa beberapa bahan peledak belum meledak, dan bisa meledak hanya dengan sentuhan. Bulan lalu ayah Jawad, Sayed Sadeq, mendengar ledakan dan langsung berlari ke area. Di sana ia melihat tubuh anaknya berlumuran darah.

"Sisi kiri tubuhnya robek, aku bisa melihat hatinya. Kakinya hilang," ujar sang ayah.

Salah satu anak lelakinya tampaknya telah menginjak granat 40 mm. Granat dirancang untuk membunuh siapa pun dalam jarak lima meter. Kedua remaja meninggal seketika. "Jika Amerika percaya pada hak asasi manusia, bagaimana mereka membiarkan ini terus terjadi," ujar Sadeq.

Sejak 2012, Pusat Koordinasi Ranjau PBB Afghanistan mencatat area pelatihan menembak AS atau NATO telah memakan 70 korban. Tapi, statistik tak memberi gambaran lengkap. The Washington Post menemukan 14 korban tak termasuk dalam data PBB tersebut. Mereka termasuk Yusef dan Jawad.

Sebagian besar korban tewas saat mereka tengah membawa ternak mereka merumput di sekitar area. Ada pula yang tengah mencari besi tua atau mengumpulkan kayu bakar. Dari korban yang dicatat PBB, 88 persen korban adalah anak-anak.

Para pejabat militer AS sekali lagi mengungkapkan niatan mereka menghapuskan bahan peledak, dari tempat latihan menembak mereka. Namun menurut juru bicara Kepala Staf Gabungan AS Kenderal Martin Dempsey, Edward Thomas, butuh waktu dan biaya untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Tapi itu penting dilakukan menurutnya, karena menyangkut keselamatan rakyat Afghanistan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement