Selasa 29 Apr 2014 16:00 WIB

Mantan Kepala SKK Migas Divonis 7 Tahun Penjara

Red: Bilal Ramadhan
Mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengikuti lanjutan sidang suap SKK Migas di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (21/1).
Foto: Wihdan HIdayat/ Republika
Mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengikuti lanjutan sidang suap SKK Migas di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Tindak pidana korupsi dimaksud, yaitu menerima uang dari sejumlah perusahaan minyak dan gas bumi (migas) maupun pejabat di lingkungan SKK Migas, dan melakukan tindak pidana pencucian uang.

"Mengadili menyatakan terdakwa Rudi Rubiandini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana penjara 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelsi hakim Amin Ismanto dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.

Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Rudi dihukum selama 10 tahun dan pidana denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim yang terdiri dari Amin Ismanto, Matheus Samiadji, Purwono Edi Santoso, Anwar dan Ugo menilai bahwa Rudi memenuhi semua unsur dalam tiga dakwaan.

Dakwaan pertama berasal dari pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo pasal 65 mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut untuk melakukan sesuatu yang bertentang dengan kewajibannya.

Perbuatan yang dilakukan oleh Rudi adalah menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan 900 dolar AS dari pengusaha asal Singapura Widodo Ratanachaithong dan PT Kernel Oil Pte Limited (KOPL) melalui Simon Gunawan Tandjaya dan 522,5 ribu dolar AS dari Artha Meris Simbolon dan PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon. Penerimaan uang itu diterima oleh pelatih golf Rudi, Deviardi.

Uang tersebut terkait dengan jabatan Rudi sebagai Kepala SKK Migas agar Rudi mengatur pelelangan minyak mentah dan kondensat bagian negara di SKK Migas, sedangkan uang dari Artha Meris adalah agar Rudi bersedia memberikan rekomendasi untuk menurunkan formula harga gas PT KPI kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dakwaan kedua berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo pasal 65 ayat (1) KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan karena kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.

Perbuatan Rudi adalah menerima uang 600 ribu dolar Singapura dari Wakil Kepala SKK Migas Yohanes Widjanarko, uang sejumlah 350 ribu dolar AS dari Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Rumesser dan dari kepala Divisi Penunjang SKK Migas Iwan Rahman sebesar 50 ribu dolar AS. Penerimaan uang itu seluruhnya juga melalui Deviardi karena perintah Rudi dan disimpan di safe deposit box CIMB Niaga.

"Tempat kejadiannya bersamaan dengan jabatan terdakwa sebagai kepala SKK Migas dan diperoleh fakta hukum terdakwa bersama Deviardi memiliki rekening di CIMB Pondok Indah sehingga majelis hakim mendapat keyakinan kesalah terdakwa," kata anggota majelis hakim Anwar.

Sedangkan dakwaan ketiga berdasarkan pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP tentang orang yang menyamarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Harta yang dimaksud adalah pembelian satu unit rumah di Jalan H. Ramli no 15 RT 011/RW 015 Tebet senilai Rp2 miliar, pembelian mobil volvo XC90 senilai Rp1,6 miliar dengan uang muka hasil penukaran uang 50 ribu dolar AS (senilai Rp498,75 juta), jam tangan Rolex senilai Rp106 juta, mobil Toyota Camry senilai Rp630,8 juta dengan menggunakan dolar AS sejumlah 65 ribu dolar AS.

Lainnya, jam tangan Citizeen Echo Drive, pembayaran Rp405 juta kepada Mazaya Wedding Organizer sebagai cicilan biaya pernikahan anak Rudi, menukarkan mata uang asing dari safe deposit box milik Deviardi senilai Rp2,98 miliar dan menyimpan hingga 60 ribu dolar AS dan 252 ribu dolar Singapura di "safe deposit box" Deviardi ditambah uang dalam rekening Deviardi di Bank CIMB Niaga senilai Rp1,02 miliar.

Namun, khusus untuk dakwaan kedua dari pasal 11, hakim anggota dua yaitu Matheus Samiadji mengajukan pendapat perbeda atau "dissenting opinion".

"Tidak tepat dan tidak terbukti dakwaan kedua yang berasal dari pasal 11 UU Tipikor karena pasal tersebut mengenai hadiah dan janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan jabatannya artinya kalau tidak jelas kepentingan apa yang diperjuangkan, sehingga memberikan kepada pejabat atau pemberi itu ada hubungan dengan pejabat yang menerima tidak bisa dikenai pasal 11," tutur Matheus.

Matheus mengatakan bahwa dakwaan kesatu subsider yang juga berasal dari pasal 11 UU Tipikor dengan jelas menyebutkan pemberian hadiah dari Widodo Ratanachaiton karena kewenangan atau kekusaan Rudi sebagai Kepala SKK migas yang berwenang menentukan lelang terbatas.

Sedangkan pemberian dari Artha Meris Simbolon melalui Deviardi karena kewenangan Rudi sebagai Kepala SKK Migas untuk mengurangi harga gas kepada PT KPI sehingga ada kepentingan dari Widodo dan Artha Meris dalam memberi hadiah kepada Rudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement