Selasa 06 May 2014 23:14 WIB

Nepotisme Dinilai Belum Punah

KKN (Ilustrasi)
Foto: BUSTHATHIEF.COM
KKN (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi salah satu agenda utama untuk diberantas saat gerakan reformasi 1998 bergulir, ternyata masih marak terjadi di Indonesia, sehingga menjadi sorotan para aktivis di Lampung.

Pada pelatihan Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) yang digelar di Griya Inayah Bandarlampung dari Minggu (4/5) hingga Jumat (9/5), dan diikuti belasan aktivis LSM, pegiat HAM, dan praktisi media di Lampung, praktik KKN khususnya nepotisme yang masih marak menjadi salah satu bahasan mendalam hingga Selasa.

Nepotisme yang masih tumbuh subur di Indonesia pasca-Reformasi 1998, ujar Pengurus Divisi Etik dan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung Padli Ramdan, seharusnya sudah diberangus bersama-sama, mengingat agenda reformasi total menghendaki praktik yang merugikan kepentingan masyarakat banyak itu dihentikan.

Namun kenyataannya, praktik itu masih saja marak dilakukan, terutama oleh para elit di pusat maupun daerah-daerah.

"Selain di Banten, di Lampung hal itu juga terjadi. Setelah Soeharto jatuh, nepotisme justru semakin kental," kata Padli pada pelatihan CEFIL yang menyiapkan fasilitator pelatihan calon pemimpin di Lampung ke depan itu pula.

Padli berpendapat, hal tersebut terjadi karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) untuk menerima demokrasi secara utuh.

"Calon-calon anggota legislatif pada Pemilu 9 April lalu merupakan bagian dari kroni. Ada partai keluarga, ayahnya mencalon di provinsi, menantunya mencalon juga di kabupaten atau kota," kata dia lagi.

Padli mempertanyakan partai politik yang hanya merangkul anggota keluarga politisi, dan sistem politik tidak memberi ruang bagi SDM berkapasitas untuk terlibat di dalamnya.

"Fakta itu membahayakan, karena membuat legislatif tidak berpihak pada rakyat dan masa depan yang lebih baik, seperti keinginan sejumlah pihak untuk mengamputasi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK oleh sejumlah wakil rakyat di Senayan," kata dia lagi.

Yayasan Satu Nama menggelar pelatihan CEFIL bagi sejumlah aktivis dan jurnalis di Lampung pada 4--9 Mei untuk mengkaji secara mendalam overview demokrasi di Indonesia dan di daerah Lampung tersebut.

"Mengapa struktur kekuasaan dinasti muncul di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Banten, Sumatera Selatan, Riau dan Sulawesi Selatan," ujar peneliti dari Public Virtue Institute AE Priyono yang menjadi salah satu narasumber kegiatan tersebut.

Pria yang akrab dipanggil Bang AE itu menilai, demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru tidak menyebabkan diskontinuitas kekuasaan, justru yang terjadi bukan hanya kontinuitas Orde Baru, tetapi justru memunculkan patron-patron Orde Baru.

Melalui pendekatan itu diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat desa untuk mengamankan hutan yang ada di sekitar desanya dengan bersikap aktif mencegah tindakan yang berpotensi merusak hutan, katanya.

Dia menjelaskan, perusakan hutan perlu dihentikan karena masyarakat desa yang paling merasakan manfaat dan dampak buruknya jika hutan di sekitar permukimannya dalam kondisi baik atau buruk.

Dalam kondisi kerusakan hutan sekarang ini, masyarakat di sejumlah daerah sering mengalami bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor pada setiap musim hujan seperti sekarang ini, dan mengalami kekeringan yang parah pada saat musim kemarau, kata Hadi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement