Ahad 11 May 2014 14:44 WIB

Massa ProRusia Gelar Referendum Sendiri

Rep: ani nursalikah/ Red: Taufik Rachman
 Bentrokan antara dua kelompok massa pendukung Ukraina dengan Rusia di Kiev, Ukraina, Selasa (29/4).
Foto: EPA/Sergey Dolzhenko
Bentrokan antara dua kelompok massa pendukung Ukraina dengan Rusia di Kiev, Ukraina, Selasa (29/4).

REPUBLIKA.CO.ID,KIEV -- Separatis proRusia di dua wilayah timur Ukraina mengadakan referendum sendiri. Langkah tersebut memperoleh kecaman dari pemerintah Ukraina dan Barat.

 

Seperti dilansir BBC, Ahad (11/5) para pemimpin yang memproklamirkan diri di Donetsk dan Luhansk akan tetap melaksanakan pemungutan suara meski Presiden Rusia Vladimir Putin meminta referendum ditunda.

 

Ukraina mengatakan pemilihan suara tersebut dapat mengakibatkan kehancuran sendiri di daerah itu. Massa pendukung Rusia bersenjata menempati kantor-kantor di sejumlah kota. Mereka terlibat dalam bentrokan sengit dengan pasukan Ukraina.

 

Laporan mengatakan terjadi pertempuran sengit semalam di pinggiran kota yang dikuasai oposisi dari Sloviansk. Namun, pertempuran itu berhasil dikuasai pasukan pemerintah. Pemerintah Ukraina menyebut operasi militer terhadap oposisi dengan operasi antiteror.

 

Sebelumnya, pada Jumat sedikitnya tujuh orang tewas dan 39 luka-luka dalam bentrokan antara kedua belah pihak di pelabuhan Mariupol di Donetsk.

 

Penyelenggara referendum mengatakan awal pekan ini bahwa sebagian besar tempat pemungutan suara dikuasai aktivis proRusia dan akan siap untuk pemungutan suara. Jutaan surat suara telah disiapkan.

 

Surat suara tersebut hanya berisi satu pertanyaan dalam bahasa Ukraina dan Rusia. "Apakah Anda mendukung berdirinya pemerintahan Republik Rakyat Donetsk atau Republik Rakyat Luhansk?" demikian tertera dalam surat suara.

 

Panitia pemungutan suara berniat mengadakan putaran kedua bulan depan untuk bergabung dengan Rusia. Mereka juga mengatakan akan memboikot pemilihan presiden Ukraina pada 25 Mei. Tidak ada pengamat independen atau internasional yang terlibat dalam pemungutan suara Ahad. Semua berada di tangan penyelenggara.

 

Sabtu pekan lalu, Presiden sementara Ukraina Olexandr Turchynov mengaku banyak warga di Ukraina timur yang mendukung militan pro-Rusia. Dia memperingatkan referendum adalah langkah menuju jurang.

 

"Mereka yang menentukan nasibnya sendiri tidak mengerti hal itu berarti kehancuran total ekonomi, program sosial dan kehidupan secara umum bagi sebagian besar orang di wilayah ini," katanya.

 

Uni Eropa dan AS juga mengutuk referendum. Muncul kekhawatiran Ukraina dapat terjerumus ke dalam perang saudara.

 

Di Moskow, Presiden Putin sebelumnya menyerukan penundaan suara untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk berdialog. Bulan lalu, Rusia menduduki wilayah selatan Ukraina, Crimea.

 

Sejumlah pihak khawatir Rusia menyerang Ukraina untuk mendukung separatis. Namun, Rusia mengatakan pihaknya tidak memiliki rencana menyeberangi perbatasan

 

Rusia diperkirakan menempatkan sekitar 40 ribu  tentara di dekat perbatasan dengan Ukraina. Rusia mengatakan mereka telah ditarik kembali. NATO mengatakan telah melihat tanda-tanda penarikan.

 

Pada Sabtu, Presiden Perancis Francois Hollande dan Kanselir Jerman Angela Merkel memperingatkan Rusia dapat diberi sanksi lebih lanjut jika pemilihan presiden Ukraina gagal.

 

"Jika tidak ada pemilihan presiden yang diakui secara internasional, destabilisasi negara menjadi hal yang tidak terhindarkan," kata kedua pemimpin dalam sebuah pernyataan.

 

Para wartawan menyimpulkan sanksi lebih lanjut berarti sanksi ekonomi terhadap Rusia telah disahkan oleh para pemimpin Eropa pada Maret. Uni Eropa dan AS telah memberlakukan sanksi terhadap para pejabat dan perusahaan yang terkait dengan Presiden Putin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement