REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua dari dua belas dokumen rapat tahun 2004-2005 di Kementerian Luar Negeri (saat itu masih bernama Departemen Luar Negeri atau Deplu) disebut dibuat setelah kegiatan selesai. Dari sinilah lalu muncul kucuran ‘uang lelah’ kepada segenap petinggi Deplu yang diberikan per satu rapat. Jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah untuk satu pejabat dari mulai menteri.
Mantan Kepala Bagian Analisa Kebutuhan dan Pengadaan Biro Perlengkapan Kementerian Luar Negeri, Endang Rahmat mengatakan ia pernah dimintai untuk membuat dokumen yang acaranya sudah selesai. “Saat itu pak Warsita Eka (eks Karo Keuangan Deplu) meminta dokumen untuk kelengkapan administrasi,” ujar Endang saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk terdakwa mantan Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadinigrat Rabu (14/5).
Endang berujar ia sempat menolak permintaan itu karena sidang dan acara rapat tersebut sudah lama berlalu. Namun karena mengira dokumen ini dibuat karena kebutuhan administrasi yang memang lumrah, ia lalu menyusunnya. Di dalam dokumen tersebut, tertera unsur pendukung acara dari mulai susunan panitia hingga daftar hadir audiens. “Saya kira ini untuk administrasi kesekjenan, ternyata malah disalahgunakan,” kata dia.
Sementara itu, Eka sendiri mengatakan pembuatan dokumen itu sebagai bagian dari pemberian uang lelah di tubuh Deplu. Tidak semua rapat petinggi Deplu mendapatkan uang lelah, terhitung hanya ada 12 rapat dan sidang internasional yang para petinggi Deplu mendapat uang lelah.
Seperti Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menerima uang lelah dengan total Rp 440 juta. Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat Rp 330 juta.
Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka sebesar Rp 15 juta. Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Deplu I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta. Kepala Bagian Pengendali Anggaran Sekjen Deplu Suwartini Wirta sebesar Rp 165 juta, dan Sekretariat Jenderal Deplu Rp 110 juta per Dirjen yang membidangi kegiatan tersebut juga menerima Rp 50 juta.