REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat menilai pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor psikologis. Investor melihat data neraca perdagangan Indonesia pada April yang defisit. Hal itu menyebabkan mereka gamang.
"Pelemahan rupiah beberapa hari terakhir lebih karena neraca perdagangan. Neraca perdagangan itu fundamental. Market zipper karena defisit," ujar Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi, Kamis (5/6).
Rupiah mulai tertekan semakin dalam sejak Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka neraca perdagangan Indonesia yang defisit 1,97 miliar dolar AS. Rupiah langsung terjerembab ke angka Rp 11.740 per dolar AS saat itu. Rupiah hari ini, Kamis (5/6), dalam JISDOR diperdagangkan pada Rp 11.874 per dolar AS, melemah 64 poin dari hari sebelumnya.
Eric mengatakan, neraca perdagangan yang defisit akan menyebabkan defisitnya transaksi berjalan. Ia memprediksikan neraca perdagangan Mei masih akan defisit, tetapi angkanya lebih kecil dibandingkan April.
Untuk keseluruhan tahun, ia menilai neraca perdagangan masih berpotensi surplus jika terdapat perbaikan impor dan perbaikan harga komoditas seperti CPO. "Kalau ekspor untuk konsentrat mineral bisa berjalan lagi bisa membantu. Kami perkirakan bisa surplus tipis atau defisit tipis," ujarnya.
Faktor politik juga mempengaruhi pelemahan rupiah. Sebelumnya, BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pelemahan rupiah salah satunya disebabkan oleh ketatnya persaingan calon presiden (capres). Namun Eric menilai pengaruhnya tidak besar.
Eric mengatakan, rupiah akan kembali menguat jika data neraca perdagangan Mei menunjukan surplus atau jika defisitnya mengecil signifikan. "Kalau Pilpres masih harus nunggu Juli. Tapi yang akan punya pengaruh dominan kalau ada perbaikan fundamental. Market reaksinya akan bagus," ujarnya.
Ia memprediksikan, nilai tukar rupiah pada akhir tahun pada level Rp 11.600 per dolar AS. Padahal sebelumnya ia memprediksikan rupiah pada Rp 10.900. Revisi tersebut disebabkan neraca perdagangan yang terkoreksi pada April.