REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan mengatakan sejak UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah diterapkan, banyak terjadi permasalahan. Terutama saat pilkada dilaksanakan secara langsung.
"Sedikitnya, 1000 pilkada secara langsung yang digelar terjadi berbagai macam distorsi yang tidak diharapkan terjadi, walaupun ada sisi postif gubernur, inovatif, dekat dengan rakyat," ujar Dirjen Otda, Djohermansyah Djohan saat diskusi penguatan otonomi daerah di Jakarta Pusat, Kamis (17/7).
Ia mengatakan buah dari desentralisasi termasuk pilkada secara langsung membuat pelaku politik tidak siap. Begitu pula masyarakat pemilih yang kurang siap serta penyelenggara (KPU) yang perlu dikuatkan kapasitasnya.
Ia mengaku prihatin dengan kepala daerah yang dipilih secara langsung banyak terjerat kasus korupsi. Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum.
"86 persen kasusnya korupsi karena politik biaya tinggi. Biaya bayar kampanye mahal. Kerumitan itu membuat terjadi korupsi," katanya.
Selain itu, terjadi pecah kongsi antara kepala daerah terpilih dengan wakil kepala daerah. Berdasarkan catatan Kemendagri, 94 persen, kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi.
"Wakil dan kepala gak harmonis pecah," katanya.
Termasuk, politik dinasti yang terjadi. Berdasarkan catatan Kemendagri, 11 persen pemerintahan di daerah merupakan politik dinasti termasuk pada pileg kemarin. "Banyak keluarga kepala daerah memenangkan kursi DPR," katanya.