REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontroversi PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau dikenal sebagai PP Aborsi salah satunya dipicu oleh perbedaan sudut pandang keyakinan agama. Hal tersebut diakui oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Berbicara dalam jumpa pers, Nafsiah mencontohkan, dalam Islam saja, ada sejumlah mazhab berbeda yang menerangkan hukum aborsi. Dalam PP 61/2014, dia mencontohkan, hukum aborsi yang digunakan mengacu pada Fatwa MUI tahun 2005.
"Dalam 40 Fatwa MUI tersebut, disebutkan bahwa aborsi tidak diperbolehkan 40 hari setelah hari pertama tidak mendapat haid di masa mentruasi," ujar Nafsiah di kantor Kemenkes, Selasa (19/8).
Nafsiah melanjutkan, klausul aborsi dalam PP 61/2014 juga tidak mengacu pada ketentuan UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Menurut dia, UU Kesehatan menyebutkan batas minimum aborsi adalah enam pekan sebelum hari pertama tidak mendapat haid di masa mentruasi.
Nafsiah sendiri tidak merinci mazhab-mazhab Islam mana saja yang dia maksud. Nafsiah merasa tidak cukup paham karena dia penganut Katolik. Dia melenjutkan, sumber hukum dalam agama Kristen berbeda lagi.
Dalam ajaran Katolik, Nafsiah mencontohkan, aborsi sama sekali dilarang tanpa ada toleransi. Sebaga seorang pemeluk Katolik, Nafsiah secara pribadi tidak akan melakukan aborsi, dan sebagai dokter, dia mengaku tidak akan menganjurkan aborsi.
"Sebagai dokter, saya akan merujuk pasien saya ke dokter lain yang bisa menerima aborsi. Hanya saja, sebagai seorang Menteri Kesehatan, saya menyampaikan, ini ada aturan negara, ini upaya negara menghormati Hak Asasi Manusia perempuan," katanya menegaskan.