REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemberlakuan PP Aborsi harus dijaga seketat mungkin. Sehingga memperkecil kemungkinan dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab.
"Syarat pemberlakuan PP Aborsi tidak boleh longgar. Maka, sebelum diterapkan, peraturan itu membutuhkan pertimbangan dari aparat kepolisian," kata tenaga medis di klinik Sapta Nawa Medika, Bintaro, dr. Dewi, kepada Republika, Rabu (210/8).
Untuk itu, dalam kasus pemerkosaan perlu mempertimbangkan secara detail melalui kaca mata medis dan agama. Jika diperlukan, kata Dewi, pembuktian seseorang sebagai korban pemerkosaan dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit Polri. "Pembuktian dari polisi harus ada," kata dia.
Dia mengingatkan agar kasus pemerkosaan dilihat satu per satu, atau kasus demi kasus. "Kasus tersebut tidak bisa dipukul rata, karena unsur-unsurnya berbeda," ujar dia.
Dia menjelaskan, lokasi kejadian, psikologis korban, perekonomian, pendidikan dan kondisis turut menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan.
Namun demikian, dia mengatakan, korban pemerkosaan mengalami beban psikologis yang tidak mudah. Wanita korban pemerkosaan mengalami depresi karena diperkosa, lalu depresi karena kehamilan dan saat melahirkan.
Menurut dia, setelah melahirkan, si korban tetap akan mengingat pemerkosaan setiap kali melihat bayi yang dilahirkannya.
Dia menghawatirkan sesuatu yang lebih buruk terjadi kepada korban pemerkosaan. Menurut dia, wanita korban pemerkosaan bisa melakukan sesuatu yang tidak rasional seperti membuang atau menerlantarkan bayinya. "Kalau ketahuan membuang bisa dipenjara. Nah kan malah kasihan banget," kata dia.
Dia mengatakan, bisa saja sang ibu enggan mengurus anak tersebut karena tidak menginginkannya. "Lantas siapa yang mau ngurusin? Atau diserahin aja ke negara?" kata dia.