Rabu 10 Sep 2014 11:01 WIB

Pengamat: Pilkada Serentak Bukan Esensi Demokrasi

Pilkada(Ilustrasi).
Pilkada(Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN-- Pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak yang diwacanakan dalam RUU Pilkada bukanlah masalah yang esensi, sehingga tidak perlu diperdebatkan terlalu lama.

"Pilkada serentak itu tidak esensial, itu hanya teknis. Jadi tidak ada masalah," kata pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Ahmad Taufan Damanik di Medan, Rabu.

Menurut Taufan, munculnya wacana penyelenggaraan pilkada serentak tersebut lebih dimaksudkan untuk menghadirkan pesta demokrasi yang hemat biaya, bukan untuk mewujudkan pilkada yang lebih demokratis. Namun, agar penyelenggaraan pilkada secara serentak tersebut memiliki legalitas, perlu dibuatkan payung hukumnya melalui UU atau ketentuan lain supaya posisinya lebih kuat.

Meski menghasilkan penghematan biaya, tetapi penyelenggaraan pilkada secara serentak juga dapat menimbulkan masalah karena akhir masa jabatan setiap kepala daerah berbeda. Namun, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menyiapkan ketentuan bahwa pemberlakuan hasil pilkada tersebut disesuaikan dengan akhir masa jabatan kepala daerah masing-masing.

Jika pemberlakuan hasilnya disamaratakan, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah karena munculnya keberatan dari kepala daerah yang tidak bisa menuntaskan jabatannya selama lima tahun. "Kalau tidak sampai lima tahun, mereka akan menggugat ke MK," ucapnya.

Karena itu, kata dia, wacana penyelenggaraan pilkada secara serentak tersebut bukanlah esensi dari demokrasi di Indonesia yang telah mengalami kemajuan pesat. Untuk menghasilkan demokrasi yang lebih berkualitas, DPR RI sebaiknya fokus dalam membenahi sistem pilkada yang selama ini terkesan mahal dan rawan praktik politik uang (money politic).

DPR RI perlu membuat sejumlah aturan dan kebijakan dalam RUU Pilkada yang sedang dibahas tersebut untuk memperkecil, bahkan kalau bisa menghilangkan potensi munculnya politik uang. Demikian juga dengan aturan yang dapat menghasilkan penyelenggaran pilkada yang berbiaya murah tanpa menghilangkan kemeriahan demokrasi.

Dengan aturan-aturan tersebut, diharapkan pilkada yang diselenggarakan di Tanah Air lebih memiliki kualitas karena tidak diwarnai praktik politik uang dan harus menghabiskan biaya besar.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement