Selasa 04 Nov 2014 16:07 WIB

Pengamat: Hilangkan Sebutan KMP dan KIH di DPR

Red: Bilal Ramadhan
Gedung MPR-DPR RI
Foto: Republika
Gedung MPR-DPR RI

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG-- Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang menyarankan, semua elemen bangsa harus menghilangkan sebutan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), karena justru akan terus menciptakan polarisasi di parlemen.

"KMP dan KIH ini adalah sebutan untuk partai-partai koalisi dalam Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Pilpres sudah selesai. Mestinya tidak perlu ada sebutan lagi karena justru menciptakan polarisasi di parlemen yang merugikan rakyat," kata Ahmad Atang, di Kupang, Selasa, terkait solusi mengatasi kekisruhan di parlemen yang masih saja terus berlanjut.

Kisruh terakhir yang terjadi di parlemen adalah saat paripurna penentuan alat kelengkapan dewan, yang kemudian berbuntut pada mosi tidak percaya pada pimpinan dewan dan pembentukan pimpinan dewan tandingan.

Menurut dia, sebutan KMP dan KIH identik dengan rivalitas dan rivalitas itu selalu membuka peluang adanya jarak sosial dan prasangka sosial. "Jadi kekisruhan di parlemen menurut saya karena kuatnya prasangka KIH terhadap KMP dengan sengaja membangun jarak sosial dengan KIH," ujarnya.

Ini yang kemudian menimbulkan kegaduhan politik yang tidak terurai secara pasti kapan akan berakhir, katanya. Karena itu, salah satu solusi yang bisa mengakhiri perseteruan di parlemen adalah dengan cara menghilangkan sebutan KMP dan KIH.

Pandangan hampir sama disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Johanes Tuba Helan yang berpendapat, sebutan KMP dan KIH telah menjadi jurang pemisah diantara sesama anggota DPR.

Sebutan KMP dan KIH ini juga menyebabkan komunikasi politik mengalami kemandekan karena dua kubu selalu saling mencurigai dalam setiap pengambilan keputusan di parlemen. "Saya pikir tidak boleh lagi ada sebutan KMP dan KIH. Tidak boleh lagi ada unjuk kekuatan, tetapi bagaimana semua anggota dewan bersatu untuk memikirkan nasib bangsa ini ke depan," kata Johanes Tuba Helan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement