REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi mengatakan Koalisi Merah Putih (KMP) DKI Jakarta tidak pernah menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurutnya KMP hanya menanyakan fatwa Mahkamah Agung terkait pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sanusi menjelaskan yang dipermasalahkan oleh KMP ialah Pasal 203 dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam pasal 203 hanya mencantumkan gubernur diangkat melalui Undang-undang 32 tahun 2004 saja. Padahal menurutnya saat pengangkatan Joko Widodo (Jokowi) dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, undang-undang yang digunakan ada dua, yaitu Undang-undang 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 29 tahun 2007 (tentang kekhususan DKI).
Ia melanjutkan, surat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilayangkan kepada pemerintah pada Juli 2012 lalu, menyangkut Pemilukada mengacu dan menimbang kepada undang-undang 32 dan 29.
Hal ini membuat anggota-anggota dewan DPRD yang berasal dari KMP bertanya-tanya kenapa Undang-undang nomor 29 tahun 2007 tidak turut dicantumkan dalam pasal 203 Perppu No. 1 Tahun 2014.
"Pertanyaan teman-teman, (UU) yang 29-nya ke mana?," ujarnya, Selasa (18/11).
Sanusi mengatakan karena itulah, KMP meminta pertimbangan fatwa atau legal advice dari Mahkamah Agung (MA). Terkait hal ini, wakil-wakil ketua atau pimpinan DPRD DKI Jakarta sudah memparaf surat yang ditujukan kepada MA, akan tetapi DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi tidak menandatanganinya.
"Padahal surat keluar itu harus diparaf pimpinan, lalu ditandatangani oleh ketua dewan, baru boleh keluar," katanya.
Ia pun menegaskan bahwa KMP tidak menolak Ahok menjadi gubernur, hanya saja KMP ingin agar diturunkan dulu pertimbangan dari MA, meskipun pertimbangan itu tidak bersifat mengikat.
Sanusi menambahkan sebenarnya enggan berseteru hanya karena permintaan fatwa MA yang tidak digubris oleh KIH ini, karena ada hal lebih mendesak yang perlu diperhatikan, seperti alat kelengkapan dewan DPRD DKI Jakarta yang hingga kini belum ada.
"Kalau alat kelengkapan dewan belum ada, dewan nggak bisa kerja, Pemda nggak bisa kerja, rakyat dirugikan," jelasnya.