REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar adanya tes keperawanan dalam proses seleksi calon polisi wanita (Polwan) tengah menjadi perhatian publik. Ketua Umum Gerakan Perempuan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Welya Safitri menilai tes keperawanan merupakan tes yang mengada-ada.
Ia menilai hal tersebut tidak ada relevansi antara status keperawanan seseorang dengan kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik.
Menurutnya jika memang ingin mengukur keahlian seseorang secara lebih pribadi, bisa dilihat track record-nya ataupun silsilah keluarganya. Karenanya, Welya menilai jika tes keperawanan masih diterapkan dalam seleksi calon polwan, tes tersebut akan menjadi tes yang tidak jelas tujuannya.
"Kalau dia perawan tapi ternyata dia bodoh bagaimana?. Apa orang-orang yang seperti itu yang diinginkan untuk ke depan?" ujarnya, Rabu (19/11).
Oleh karena itu, terlepas masih ada atau tidaknya tes keperawanan bagi calon polwan, Welya menghimbau agar tes seleksi lebih metitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya strategis dan aplikatif di dalam dunia kerja, misalnya: keterampilan, keahlian, kejujuran, karakter, dan juga etos kerja dari para kandidat.
"Yang seperti itu paling penting kan," ucapnya.
Ia menambahkan, di samping itu penekanan dalam tes seleksi calon polwan juga bisa difokuskan pada ideologi dan dari segi budayanya. Identitas pribadi dari para calon kandidat pun bisa ditelusuri melalui keluarga para calon polwan tersebut.
Atau seandainya calon kandidat merupakan umat beragama, pihak terkait bisa menilai dari cara mereka mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. "Jadi, kalau tes keperawanan masih dilakukan, itu bukan kemajuan, tapi kemunduran," katanya.