REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof Edy Suandi Hamid mengatakan strategi dan edukasi masyarakat terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 harus lebih dipertegas. Tidak hanya habis-habisan mempertahankan diri dari gempuran kekuatan ekonomi luar.
Sebab jika hanya melakukan kebijakan yang bersifat defensif, berarti sudah memposisikan diri sebagai korban dari integrasi ekonomi ini.
“Untuk itu, kita tetap berusaha mempertahankan pasar yang ada (defensif), namun secara simultan juga melakukan kebijakan yang menyerang (ofensif) untuk memperluas pasar dan aktivitas ekonomi di negara ASEAN lainnya,” kata Edy Suandi Hamid dalam Seminar Kesiapan Ekonomi Indonesia Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, di Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Sabtu (29/11).
Selain Edy, seminar tersebut juga berbicara dalam forum tersebut ekonom INDEF Prof Didiek J Rachbini dan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Laode Kamaluddin, dan Rektor UMP Dr M Idris. Seminar diikuti pimpinan perguruan tinggi (PT) di Palembang, serta para dosen di UMP.
Edy Suandi Hamid yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) berujar, perluasan pasar diharapkan bisa meningkatkan pendapatan bangsa Indonesia. “Dengan kebijakan demikian, apabila berhasil, maka manfaat optimal bisa dinikmati dari integrasi ekonomi tersebut,” tegas Edy.
Bila ekspansi ekonomi terjadi, kata Edy, bisa meningkatkan peluang kerja, peluang usaha, serta peluang ekonomi yang luas bagi para pelaku ekonomi di tanah air. Selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih cepat, serta kesejahteraan masyarakat juga menjadi lebih baik.
Menurut Edy, seharusnya kebijakan negara Indonesia juga melakukan upaya lebih untuk mendapatkan pasar baru di negara anggota ASEAN. Misalnya, bagaimana para tenaga kerja profesional dan penganggur terdidik juga bisa memanfaatkan bursa kerja di negara ASEAN lainnya untuk memperoleh devisa dari sana. “Demikian juga produk barang-barang kita didorong meningkat produksinya untuk memasarkan hasilnya ke negara ASEAN lainnya,” ujarnya.
Menyatunya ekonomi ASEAN dalam AEC, kata Edy, pasar Indonesia berlipat lebih dari dua kali lipat, dari 250 juta menjadi 600 juta orang (total penduduk ASEAN saat ini). “Kita bisa membeli bahan baku dari negara ASEAN lainnya dengan pembebasan bea masuk, bisa investasi untuk membangun pembangkit tenaga listrik di Myanmar, tanam modal di Laos, membuat rumah sakit di Brunei Darussalam, mengekspor sepeda motor ke Vietnam, atau bekerja di korporasi raksasa yang ada di Singapura,” katanya.
Karena itu, agar Indonesia tidak menjadi korban AEC 2015, harus ada upaya untuk mengakselerasi semua kebijakan ekonomi sehingga daya saing ini meningkat secara lebih cepat. “Kita ada harapan untuk itu. Harapan itu muncul karena pemerintahan baru di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla terlihat cukup agresif dan berupaya memangkas birokrasi yang tidak efisien, memerangi ekonomi biaya tinggi, berusaha menghilangkan berbagai mafia di sektor ekonomi, merelokasi pengeluaran yang tidak efisien untuk membangun infrastruktur,” katanya.