REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat untuk penanggulangan masalah terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, dianggap salah strategi dan salah sasaran. Pemerintah diharapkan bisa lebih mengedepankan pendekatan kemasyarakatan dan pemerataan ekonomi.
Anggota Komnas HAM Siane Indriani mengatakan, menurutnya pendekatan kekerasan yang selama ini dilakukan aparat keamanan di Poso tidak efektif dan salah strategi.
Pendekatan-pendekatan semacam itu justru akan menambah dendam kepada aparat keamanan, khususnya Densus 88 dan Kepolisian. ''Pendekatan dengan kekerasan justru tidak efektif dan malah menambah dendam,'' katanya kepada Republika, Kamis (18/12).
Siane menjelaskan, pendekatan semacam itu justru malah menyuburkan radikalisme di Poso. Permasalahan di Poso pun tidak bisa dilepaskan konflik yang berlatar belakang sentimen agama, yang sempat diselesaikan lewat Perjanjian Malino.
Ia melanjutkan, namun Perjanjian Malino itu sebenarnya tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Sebab masih ada pihak-pihak yang belum menerima dan menyimpan dendam.
Kemudian, mereka yang ditangkap di Poso pun diganjar dengan Pasal Terorisme. Padahal, mereka hanya melakukan tindakan kriminalitas biasa. Akhirnya, tindakan kekerasan yang dilakukan Kepolisian dan Densus 88, lewat penetapan DPO, penculikan, ataupun instruksi tembak mati, justru membuat masyarakat di Poso antipati dengan aparat penegak hukum.
Hal ini kemudian justru menimbulkan radikalisme dari pihak-pihak yang dianggap sebagai teroris. ''Ada semacam solidaritas di antara mereka dan dendam dengan kepolisian,'' ujarnya.
Terkait penetapan tersangka teroris dan kaitannya dengan ISIS di Poso, Siane justru merasa tidak yakin, jika para terduga teroris di Poso itu termasuk dalam teroris dalam definisi global.
Menurutnya, ada pihak-pihak yang mencoba rebranding dengan masalah-masalah di Poso dan dikaitkan dengan situasi global terkini, khususnya soal maraknya ISIS.
Tidak hanya itu, secara khusus, Siane menyebut, dalam hal penindakan terduga teroris di Poso sebaiknya tidak hanya menjadi wewenang penuh Densus 88. Pasalnya, Densus 88 dinilai tidak memiliki pendekatan lain selain pendekatan kekerasan. Karena itu perlu ada penyeimbang dengan adanya keterlibatan lembaga penegak hukum lainnya, seperti TNI.
Pun dengan adanya pertukaran informasi intelijen antar lembaga pemerintah. Akan lebih baik, data-data inteleijen yang dimiliki Densus 88 dan BNPT dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga lainnya. Sehingga bakal ada sinergisitas antar kelembagaan.
''Seharusnya dilakukan secara transparan dan di share dengan lembaga lainny. Kalau saat ini jadinya ada kesan kebenaran mutlak milik Densus 88, tanpa ada konfirmasi atau tidak suara-suara yang lain,'' jelasnya.
Selain itu, Siane juga menyarankan, anggota-anggota Densus 88 yang dikirim ke Poso sebaiknya muslim. Hal ini dilakukan agar menghindari adanya sentimen keagaaman yang timbul di kemudian hari akibat operasi yang dilakukan Densus 88.
Ia menambahkan perlu ada perubahan pendekatan yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, pendekatan yang lebih soft, kemasyarakatan dan kemanusiaan akan lebih memberikan efek langsung ke masyarakat Poso. Selain itu juga harus ada pemerataan pembangunan, seperti infrastruktur jalan, dan pendekatan secara ekonomi.
''Masyarakat bisa diajak berbicara dan berdialog. Penyelesaiannya juga harus dimulai dilakukan di hulu, tidak hanya di hilir. Ada pemerataan pembangunan sehingga tidak ada lagi benih-benih konflik yang bisa kembali pecah kapan saja,'' katanya.