REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) RON 88 alias premium (bensin). Kalau saran itu diterima pemerintah, pertengahan tahun depan Indonesia tidak akan lagi mengimpor RON 88 (Premium). Itu berarti BBM RON 92 alias Pertamax akan menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia.
Dengan kondisi itu, Indonesia yang minim produksi RON 92 akan melakukan lebih banyak impor dari luar negeri sebagai pengganti Ron 88. Pengamat energi Marwan Batubara menilai, hal itu bisa mengurangi ketahanan nasional lantaran pemerintah banyak mengimpor Pertamax.
"Dengan impor RON 92, kita akan lebih banyak mengandalkan negara luar. Ini bisa mengganggu ketahanan kita," kata Marwan kepada Republika, Ahad (21/12).
Dia menjelaskan ,dengan melakukan penghentian RON 88, pemerintah mungkin sedang melakukam pertimbangan ekonomi ke depan. Namun untuk saat ini, pemerintah juga harus menimbang baik dan buruk atas apa yang nantinya mereka putuskan.
Dengan melakukan penghentian RON 88, Marwan menilai akan banyak aspek lain yang terabaikan. Selain nilai impor yang melambung, aspek kilang minyak yang selama ini memproduksi Naptha sebagai bahan baku RON 88 bisa tersisihkan.
Kurang terpakainya minyak yang dihasilkan dari kilang-kilang Pertamina saat ini tidak menutup kemungkinan jika kilang tersebut akan minim aktivitas dan kurang produktif dalam menutupi kebutuhan minyak Tanah Air.
Selain itu untuk menghentikan pembelian RON 88, Marwan menilai pemerintah tak boleh mengambil langkah terlalu cepat. Pasalnya kilang yang dibutuhkan untuk memproduksi RON 92 masih harus di-upgrade. "Ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka lebih baik tidak tiba-tiba menyetop konsumsi RON 88," lanjut Marwan.