Selasa 06 Jan 2015 14:02 WIB

SEMA PK tak Tepat dan Timbulkan Kerancuan

Gedung Mahkamah Agung
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Agung

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai langkah Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kerancuan hukum.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan dalam Angka 3 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7/2014, MA tidak tepat ketika berpendapat permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. 

Padahal, kata Miko, norma tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan MK No.34/PUU-XI/2013.

Adapun alasan MA yang menyatakan putusan MK tersebut tidak serta-merta menghapus norma hukum yang mengatur PK dalam Pasal 24 Ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) UU Mahkamah Agung, menurut Miko, juga tidak tepat.

"Kedua pasal tersebut seharusnya dimaknai sebagai dasar bagi pengajuan PK untuk semua perkara, kecuali perkara pidana dan militer," kata Miko, Selasa (6/1).

Pengaturan PK untuk perkara pidana dan militer, lanjut dia, secara khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Permohonan PK untuk perkara pidana dan militer yang sebelumnya dibatasi hanya satu kali, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

Baik Miko maupun Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri menegaskan SEMA bukanlah produk peraturan perundang-undangan, melainkan hanya sebagai instrumen administratif yang bersifat internal dan ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan berkaitan dengan administrasi pengadilan.

"SEMA jelas tidak dapat menyampingkan Putusan MK ataupun membentuk norma hukum baru layaknya suatu peraturan perundang-undangan," kata Ronald.

Bahkan, kata dia, MA sendiri melalui yurisprudensinya (Putusan No. 249/1967 PT Perdata serta Putusan MA Nomor 105K/sip/1968) pernah menyatakan bahwa SEMA tidak dapat menyampingkan suatu norma hukum (peraturan perundang-undangan).

Lebih lanjut Miko menegaskan penerbitan SEMA No. 7 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan kerancuan hukum bagi pengadilan, aparat penegak hukum, dan pencari keadilan.

"Oleh karena itu, perlu dengan segera dibenahi dan diluruskan demi kepastian dan keadilan hukum," katanya.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement