REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar, menyatakan, langkah Bareskrim Polri menangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, bukan merupakan bentuk penegakan hukum. Hal itu justru dipandang sebagai upaya penghentian proses hukum.
“Kami meyakini polri justru berhentikan proses penegakan hukum,” kata Zainal, Jumat (23/1).
Ia mengaku, Polri belum memiliki alasan yang jelas untuk menangkap Bambang Widjajanto. Apalagi penangkapannya tidak disertai dengan prosedur yang baik.
Menurutnya masalah ini mengulang kasus buaya versus cicak yang pernah terjadi sebelumnya antara Polri dan KPK. Ia juga mengatakan polisi masih menggunakan modus yang sama dalam menyerang lembaga anti korupsi tersebut.
“Modus operandi polisi sama saja, mereka menyekap petingginya, lalu membebaskan lagi,” kata dia
Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri atas tuduhan sengketa pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Alat bukti penangkapan berupa surat atau dokumen, keterangan para saksi dan keterangan saksi ahli.
Meski kasus sengketa pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah ini terjadi pada 2010, namun laporannya baru masuk pada 15 Januari 2015.