REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sejak tahun 2009 pakaian bekas impor sudah dinyatakan sebagai barang ilegal dan dilarang masuk ke Indonesia. Namun, penyelundupan pakain bekas buatan luar negeri tidak bisa terbendung karena tingginya permintaan domestik.
Kasubdit Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal Bea Cukai Haryo Limanseto mengatakan salah satu cara mengatasi peredaran pakaian bekas impor di Indonesia adalah dengan cara melarang penjualannya. Jika aturan tersebut sudah diterapkan, para penyelundup secara otomatis enggan menyelundupkan pakaian bekas impor.
Haryo mengungkapkan, sepanjang 2013-2015, Ditjen Bea Cukai sudah melakukan 34 kali penggagalan penyelundupan pakaian bekas. Jumlahnya mencapai 25.600 bal.
Satu bal berisikan 500 buah pakaian. Baik itu celana, baju, jaket, dan sejenisnya.
Setiap 1 bal dijual seharga Rp 1-2 juta kepada pedagang besar. Pedagang tersebut bisa meraup keuntungan dua kali lipat.
"Kalau dapat barangnya bagus, bisa tiga kali lipat. Jadi ini semua karena nilai keuntungannya besar sehingga permintaan tinggi," ujar dia.
Dia menjelaskan penyelundupan kebanyakan dilakukan di pesisir timur Sumatera. Kawasan tersebut menjadi sasaran empuk para penyelundup karena terdapat banyak pelabuhan rakyat atau yang juga disebut dengan pelabuhan tikus.
Ditjen Bea Cukai, kata dia, sudah berupaya mengawasi. Namun karena ada keterbatasan dari segi tenaga dan ketersediaan kapal, ada juga penyelundup yang berhasil lolos dari pengawasan.
"Kalau sudah lolos dan ibaratnya dia sudah mendarat, itu bukan lagi kewenangan kami. Nah, yang sudah lolos itu bisa diatasi kalau ada peraturan larangan penjualan pakaian bekas impor," ujarnya.