REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko mengatakan, putusan yang ditetapkan oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam perkara Komjen Budi Gunawan sudah meyimpang dari aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP).
"Putusan itu sebenarnya menyimpang dari KUHAP karena pasal 77 sudah mengatur secara jelas objek praperadilan. Kemudian di hukum acaranya diatur di pasal 80 dan 83. Jadi, kalau putusan keliru seperti itu, secara hukum tidak bisa dilaksanakan," kata Djoko Sarwoko saat dihubungi di Jakarta, Senin (16/2).
Hakim tunggal Sarpin Rizaldi menyatakan bahwa surat perintah penyidikan nomor 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasar atas hukum karenanya penetapan perkara tak punya kekuatan hukum mengikat.
Djoko mengusulkan agar KPK mengajukan upaya hukum lanjutan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terkait perkara tersebut. "KPK bisa mengajukan kasasi untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan itu. Ajukan permohonan ke MA dengan malampirkan putusan praperadilan," ungkap Djoko.
Djoko menilai, KPK seharusnya tidak menghiraukan putusan praperadilan tersebut. "Kan sudah ada kasus Chevron. Itu kan setelah hakimnya diperiksa dan dikenakan sanksi. Sanksinya dipindah ke Ambon kemudian Kejaksaan tetap melanjutkan penyidikan tanpa harus meminta pembatalan putusan praperadilan," tambah Djoko.
Selain itu, KPK juga dapat melapor ke Komisi Yudisial. "Tapi KY tidak bisa mengubah putusan," katanya. KY hanya bisa merekomendasikan agar hakim tersebut dijatuhi sanksi jika ditemukan pelanggaran kode etik dalam sidang praperadilan.
Djoko pun menyebutkan sejumlah kejanggalan pertimbangan yang disampaikan Sarpin di pengadilan.
"Tentang sprindik tidak sah itu tidak masuk lingkup praperadilan. Itu kan harus diputuskan dalam pokok perkara," tambah Djoko.