REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD RI dari Papua Charles Simaremare mengatakan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua masih memiliki banyak kekurangan sehingga perlu direvisi.
"Dulu hanya satu provinsi. Karena itu berkaitan dengan pembagian dua persen DAU (dana alokasi umum) nasional yang jadi Otsus Papua sehingga dulu pembagiannya hanya bersifat kebijakan antara Papua dan Papua Barat," katanya kepada Republika, Minggu (15/3).
Charles melanjutkan, meski sudah mendapatkan pembagian dana, namun Papua Barat belum masuk ke dalam UU tersebut. Ia pun menegaskan, sudah ada kesepahaman antara Papua dan Papua Barat agar UU Otsus direvisi.
"13 tahun setelah lahir, sudah waktunya dievaluasi dan direvisi. Setelah dievaluasi adanya ketimpangan-ketimpangan atau adanya kondisi yang berubah sekarang dari 13 tahun lalu sehingga perlu direvisi," jelasnya.
"Papua Barat belum terakomodir di UU Nomor 21 itu. Belum ada menyebut Papua Barat, hanya Papua," katanya.
Ia mengatakan ada beberapa hal yang diperjuangkan melalui Otsus Papua, salah satunya terkait kewenangan yang lebih besar di sektor sumber daya alam. Menurutnya, ada hal-hal yang dianggap masih perlu ditingkatkan untuk kesejahteraan masyarakat Papua.
"Otsus itu untuk memaksimalkan pengelolaan SDA. Itu sangat menolong demi mengejar ketertinggalan Papua dari daerah-daerah di Indonesia bagian tengah dan barat," ujarnya.
Ia menambahkan, mengajukan Otsus merupakan hak setiap daerah. Charles pun tidak mempermasalahkan jika banyak daerah yang kemudian akan ikut mengajukan Otsus.
"Itu hak masing-masing. Tapi perlu kami beritahu, Indonesia ini dibangun startnya beda dengan Papua. Papua itu 1969, terlambat 20 puluhan tahun. Lebih duluan membangun Indonesia bagian lain daripada Papua. Jadi untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara kita di Indonesia bagian barat dan tengah itu butuh ekstra tenaga, dopping lah," jelasnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri telah menggelar rapat membahas tentang evaluasi kebijakan otonomi khusus untuk wilayah Papua dan Papua Barat, pada Kamis (12/3) lalu.
Dalam rapat kali, Jokowi didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Kemudian Menteri Koordinator Polhukam, Kepala BIN, Menkum HAM, Wakapolri dan lainnya. Otonomi khusus itu menyangkut pertimbangan aspek pertahanan, keamanan, kedaulatan, keuangan, sosial, politik dan hukum serta aspek yang lain.
Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang sedang dibahas oleh pemerintah pusat, tim Papua dan Papua Barat masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Papua. Perbaikan UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001 tentang Papua sejauh ini telah memasuki tahap akhir dan siap dibahas di DPR lebih lanjut.