REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu alasan Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly merevisi PP 99 Tahun 2012 terkait remisi terhadap terpidana adalah landasan HAM. Sayangnya, alasan itu sebenarnya sudah terbantahkan melalui putusan Mahkamah Agung.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan, jika salah satu alasan Menteri hendak merevisi PP 99 Tahun 2012 atas dasar hak asasi manusia, maka hal tersebut sudah selesai pada 2013, lalu. Sebab, MA sudah memutuskan bahwa PP 99 Tahun 2012 tidak melanggar HAM.
Agustus 2013, terpidana korupsi, Rebino melalui kuasa hukumnya, Yusril Izha Mahendra mengajukan juducial review terkait PP 99 Tahun 2012 terutama soal remisi bagi terpidana. Para pemohon tersebut berdalih bahwa sejumlah ketentuan pada PP 99 Tahun 2012 khususnya berkaitan dengan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat telah bertentangan dengan UU Nomer 1 Tahun 1995 dan UU No.39 Tahun 1999.
Namun, lima Hakim MA saat itu yang salah satunya adalah Artidjo Alkostar memutuskan menolak permohonan dan dalil yang diajukan oleh Yusril tersebut. Menurut para hakim, tidak ada yang salah dengan PP 99 Tahun 2012. Apalagi, di dalam PP tersebut terdapat dua syarat terkait pemberian remisi.
Pertama, terpidana bersedia menjadi carburator justice untuk bisa mengungkap kasus yang lebih besar. Kedua, terpidana mampu bersikap baik dan kooperatif terhadap proses peradilan. "Pak menteri sebagiaknya membaca ulang dan secara cermat putusan MA Nomer 51 P/HUM/2013 karena itu sudah merupakan legitimasi yang kuat," ujar Emershon Yuntho, Rabu (25/3).