REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pemilu sekaligus Ketua Demokrasi dan Konstitusi (KODE), Very Junaidi mengatakan, konflik Partai Golkar yang tidak berkesudahan akan melahirkan persepsi negatif dari publik. Publik akan mengira Golkar tidak memperjuangkan lagi aspirasi masyarakat.
"Pemilihan Umum (Pemilu) yang lalu saja belum sampai satu tahun, tapi mereka (Golkar) sudah ingkar pada janji politiknya. Hal itu terlihat dari masing-masing kubu yanag tidak memperjuangkan aspirasi publik dengan terus memperdebatkan kepengurusan internal," kata Junaidi pada Republika, Kamis (2/4). Konflik itu, tambahnya, memperlihatkan kalau Golkar hanya berorientasi pada kekuasaan.
Junaidi mengatakan, akibat konflik yang tidak selesai, selain terancam tidak bisa ikut Pilkada, suara Golkar juga akan terancam pada pemilihan legislatif dan preseiden 2019, mendatang. "Karena publik sudah tahu kalau mereka (Golkar) orientasinya hanya kekuasaan," tambahnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya mengeluarkan penetapan penundaan pelaksanaan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang sahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono.
Kuasa hukum Partai Golkar hasil Munas Bali, Yusril Ihza Mahendra dalam akun Twitter pribadinya, @Yusrilihza_Mhd, mengatakan kepengurusan DPP Golkar yang sah sejak vonis itu adalah kepengurusan hasil Munas Riau 2009 yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Idrus Marham.
Yusril juga menegaskan, pengurus hasil Munas Riau berhak dan berwenang untuk membatalkan segala keputusan dan tindakan administratif/politik yang dilakukan kubu Agung, terhitung sejak dikeluarkannya SK pengesahan Menkumham pada 23 Maret sampai dengan adanya putusan penundaan pada 1 april.