REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerintah provinsi Bali mengatakan penghapusan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di sektor hilir sedikit banyaknya memberikan pengaruh kepada ekspor produk-produk berbasis kayu dari Pulau Dewata. Pasalnya, sebagian besar produk tersebut diekspor ke negara-negara di Eropa dan Amerika.
"Pengaruhnya pasti ada, namun belum bisa kami hitung karena mempertimbangkan seberapa ketat aturan yang berlaku di negara tujuan ekspor," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali, I Gede Nyoman Wiranata di Denpasar, Rabu (22/4).
Tanpa SVLK, kata Wiranata, negara tujuan ekspor bisa meragukan legalitas produk dari sisi kelestarian lingkungan. Ini dikemudian hari akan menjadi salah satu hambatan pemasaran produk-produk berbahan baku kayu asal Indonesia.
Sejauh ini baru 23 pengusaha dari lebih dari 100 pengusaha yang lini usahanya berbasis kayu di Bali yang mengantongi dokumen SVLK. Mereka didominasi pengusaha menengah ke atas. Rendahnya minat pengusaha karena biaya sertifikasi yang cukup besar, hingga Rp 60 juta. Akan tetapi, kata Wiranata, hal itu masih bisa diatasi dengan menggabungkan pengusaha-pengusaha kecil ke dalam wadah yang lebih besar, seperti koperasi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, Panusunan Siregar mencontohkan Bali menyumbang devisa dari ekspor patung dan kerajinan berbasis kayu hingga 4,25 juta dolar AS pada Februari lalu. Sebagian besar atau 26,01 persennya dikapalkan ke Amerika Serikat (AS), sedangkan sisanya ke Hong Kong (8,23 persen), Italia (5,45 persen), Belanda (4,41 persen), Australia (3,94 persen), dan Jepang (3,76 persen).
"Sepanjang 2014, devisa hasil ekspor pengiriman patung Bali ke luar negeri secara total mencapai 73,24 juta dolar AS," kata Panusunan.
SVLK pada dasarnya bertujuan meningkatkan daya saing hasil kerajinan berbasis kayu di pasar dunia. Sistem ini sesungguhnya akan memproteksi Bali dari peredaran kayu ilegal mengingat 80 persen bahan baku industri kayu di Bali masih didatangkan dari luar pulau.
Sebanyak 28 negara Uni Eropa sudah menyaratkan SVLK dari Indonesia. Artinya, jika aturan yang sedianya diberlakukan menyeluruh pada 2016 mendatang ini batal diberlakukan, maka produk yang tak dilengkapi dokumen SVLK akan ditolak negara pembeli.