REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan orang pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar dan Bangladesh terdampar di Aceh sejak awal pekan lalu. Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, Indonesia berada dalam posisi yang sulit dalam menghadapi pengungsi tersebut.
Sebab, Indonesia bukanlah negara tujuan sebagian besar pengungsi tersebut. Demikian pula, secara hukum internasional, mereka adalah pelintas batas kedaulatan Indonesia secara ilegal. Namun, kedatangan mereka ke wilayah Indonesia selalu dalam kondisi yang kritis sehingga harus ditolong secepatnya.
Menurut Teuku, bukan perkara yang mudah bagi Indonesia untuk menangani para pengungsi. Apalagi, tegas dia, pemerintah Indonesia memang tidak menganggarkan dana bantuan kepada pengungsi asing yang masuk ke dalam negeri. Untuk kebutuhan makan ratusan pengungsi Rohingya per hari saja, sebut Teuku, dana yang dibutuhkan bisa mencapai miliaran rupiah.
"Pemerintah nasional atau pun daerah tidak punya anggaran sebesar itu. Dalam APBNP itu enggak ada (alokasi) dana itu. Kita punya masalah dari sisi ekonomi," ucap Teuku Rezasyah saat dihubungi Republika, Selasa (19/5).
Pemerintah Indonesia juga menghadapi masalah baru terkait keamanan akibat datangnya para pengungsi ini. Menurut Teuku, ratusan orang Rohingya yang baru tiba di pesisir Aceh itu wajib diklasifikasi segera agar tidak ada masalah ke depannya. Minimal, mereka bisa digolongkan ke dalam pengungsi murni, pelarian politik, pelarian ekonomi, atau juga terduga pelaku kriminal. Pemilahan untuk itu pun, lanjut Teuku, mesti dilakukan dengan cermat oleh Kepolisian RI dan Dirjen Imigrasi.
"Nah, untuk mengklasifikasikan ini, susah. Karena mereka (para pengungsi Rohingya) bahasanya lain sama kita. Jadi perlu penerjemah yang sangat banyak, perlu analisis yang sangat bagus," lanjut dia.
Bagaimanapun, tegas Teuku, yang paling urgen di antara persoalan Rohingya ialah kemanusiaan. Menurut Teuku, justru inilah momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan penerapan riil Pancasila, terutama sila keduanya kepada dunia internasional. "Sekaranglah saatnya kita mempraktikkan sila kedua tersebut kepada kalangan luar. Agar mengerti mengenai keagungan Pancasila kita."
Meskipun demikian, tidak mungkin Indonesia sendirian. Secara hukum internasional, Indonesia dapat berkoordinasi dengan PBB melalui UNHCR, agar mendapat bantuan dana untuk menangani para pengungsi Rohingya. Apalagi, diketahui para pengungsi ini tidak diakui kewarganegaraannya, baik oleh pemerintah Myanmar maupun Bangladesh. Padahal, sebut Teuku, para pengungsi itu masih memiliki ikatan historis dan psikologis dengan kedua negara tersebut.
"Untuk itu harus ada kepastian dari PBB. Misalnya, bagaimana PBB membantu Indonesia lewat UNHCR. Kemudian lewat IOM (Organisasi Migrasi Internasional). Kan perlu dana luar biasa," tutup dia.