Ahad 07 Jun 2015 19:23 WIB

Kang Abik: Teori Menulis Saya Berlawanan dengan Hollywood

Rep: c01/ Red: Agung Sasongko
Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat Ayat Cinta.
Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat Ayat Cinta.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Nama Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik sudah tak diragukan lagi dalam dunia tulis-menulis. Sepanjang karirnya, Kang Abik berhasil melahirkan beragam karya sastra populer, di antaranya Ayat-Ayat Cinta (2004), Ketika Cinta Bertasbih (2007), hingga karya teranyarnya Api Tauhid (2014). Dalam tiap karyanya, Kang Abik juga berhasil membawa cerita yang menarik sekaligus sarat makna dan pembelajaran.

Para pembaca juga kerap diperkenalkan dengan tokoh-tokoh utama yang 'sempurna' dalam karya Kang Abik. Sebut saja Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta, Azzam dalam Ketika Cinta Bertasbih, dan Fahmi dalam Api Tauhid. Tokoh-tokoh utama dalam karya Kang Abik cenderung identik dengan sosok yang sangat taat kepada Tuhan dan agama.

Kang Abik ternyata memang memiliki alasan di balik setiap penokohan karakter dan gaya penceritaannya dalam novel. Kang Abik menyatakan setiap tokoh yang ia ciptakan sebenarnya tidak sempurna. Masing-masing karakter sebenarnya memiliki kekurangan yang tergambar di dalam novelnya. Hanya saja, Kang Abik berprinsip untuk bercerita dengan berpedoman pada Alquran dan hadist bukan dengan standar penceritaan Hollywood.

Jika bercerita dengan gaya Hollywood, jelas Kang Abik, semakin tersekspos suatu kejahatan maka akan semakin baik. Sebagai contoh, ketika bercerita tentang pertobatan seorang wanita tuna susila, gaya penceritaan Hollywood akan lebih mengekspos kehidupan wanita tersebut sebagai tuna susila sebelum akhirnya bertaubat.

Kang Abik menilai hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip penulisannya. Oleh karena itu, ia memilih untuk menulis dengan berpedoman pada Alquran dan hadist di mana kejelekan seseorang tidak diumbar. "Dalam hadist, kalau ada seseorang berbuat buruk, namanya pun tidak akan disebutkan oleh perawi hadist," jelas Kang Abik di hadapan ratusan pengunjung Bandung Islamic Book Fair, Landmark.

Dengan berpedoman pada nilai tersebut lah, Kang Abik kemudian menciptakan tokoh yang terkesan sempurna di mata pembaca padahal memiliki kekurangan. Kang Abik mencontohkan, tokoh Azzam yang terlihat 'sempurna' dalam Ketika Cinta Bertasbih hingga sembilan tahun tidak dapat menyelesaikan pendidikan S1-nya. Fahmi dalam Api Tauhid juga menangis karena masalah percintaannya dengan Nuzula. Ada pula tokoh Ayyash dalam Bumi Cinta yang menunaikan shalat subuh terlambat.

Hal tersebut, lanjut Kang Abik, sebenarnya merupakan contoh kekurangan-kekurangan yang dimiliki karakter dalam novelnya. Hanya saja, karena ia lebih ingin berfokus pada pesan kebaikan, maka kekurangan-kekurangan tersebut tidak dieksploitasi oleh Kang Abik dalam bukunya.

"Kalau boleh jujur, sastra yang di Indonesia masih mengikuti teori Hollywood. Misalkan cerita pelacur taubat, 90 persen ceritanya pasti cenderung tentang kehidupan sebagai pelacur, 10 persennya tetang tobat. Kalau saya berbeda," ungkap Kang Abik.

Prinsip dalam menulis tersebut bukan diputuskan Kang Abik tanpa alasan. Tiap kali melahirkan sebuah karya, Kang Abik menyatakan memiliki sebuah grand design. Kang Abik menyatakan grand design utamanya dalam berkarya ialah ia ingin mengajak dirinya sendiri dan juga para pembacanya untuk menjadi sebaik-baiknya manusia.

"Grand design yang paling utama, saya ingin ajak diri sendiri dan pembaca untul menjadi khairul ummah (umat terbaik)," ujar Kang Abik.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement