REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 14 potensi korupsi dalam pengelolaan dana desa. Potensi itu terjadi di berbagai aspek, mulai dari regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan hingga aspek sumber daya manusia.
"Hasil kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan (potensi korupsi)," ujar Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi di gedung KPK, Jumat (12/6).
Dari aspek regulasi dan kelembagaan, kata Johan, belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa menjadi celah terjadinya praktik korupsi. Selanjutnya adalah potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dengan Ditjen Bina Pemerintah Desa kemendagri.
Selain itu, lanjut dia, formula pembagian dana desa dalam PP Nomor 22 tahun 2015 juga tidak transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Dan pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari alokasi dana desa (ADD) juga tidak berkeadilan.
"Kewajiban penyusunan laporan pertanggung jawaban oleh desa menjadi tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih," ujar mantan juru bicara KPK ini.
Johan melanjutkan, pada aspek tata laksana terdapat lima persoalan potensi korupsi. Antara lain, kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, satuan harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia.
Kemudian transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.
Terkait aspek pengawasan terdapat tiga potensi persoalan. Yakni efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah, dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.
"Kemudian pada aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi, memanfaatkan lemahnya aparat desa," kata Johan.