REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Perdana Menteri Tony Abbott menyatakan hubungan kedua negara tetap kuat. Pernyataan itu dilontarkan Abbott di tengah isu dugaan penyuapan yang dilakukan petugas perbatasan Australia terhadap enam kru perahu Indonesia yang mengangkut imigran gelap.
Kepada wartawan, Selasa (16/6) kemarin, PM Abbott menegaskan, pemerintahannya akan tetap menghentikan kedatangan perahu yang mengangkut imigran gelap ke Australia. "Satu-satunya yang diperhitungkan adalah, apakah kita telah menghentikan kedatangan perahu? Jawabannya adalah ya," katanya.
Sejak terpilih di tahun 2013, Pemerintahan Tony Abbott menggelar Operasi Kedaulatan Perbatasan (Operation Sovereign Borders) yang bertujuan mencegat dan memulangkan perahu pencari suaka yang masuk ke wilayah perairan Australia, kembali ke negara asalnya.
Namun beberapa waktu terakhir, kebijakan itu menjadi sorotan karena adanya tuduhan bahwa petugas perbatasan Australia membayar kepada enam kru perahu asal Indonesia, untuk memulangkan 65 penumpang mereka kembali ke Indonesia.
Perahu mereka akhirnya terdampar ke Pulau Rote setelah gagal memasuki wilayah Australia. Di sanalah, para penumpang asal Sri Lanka itu kepada polisi setempat mengaku bahwa ada petugas Australia yang membayar kapten dan kru kapal sebesar 5.000 dolar per orang.
Tuduhan ini menjadi sorotan baik di Indonesia maupun di Parlemen Australia sendiri. Partai Hijau dan Partai Buruh yang beroposisi melancarkan serangan di Parlemen hari Senin (15/6) kemarin, mendesak pemerintah untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Namun baik PM Abbott, Menlu Julie Bihsop, maupun Menteri Imigrasi Peter Dutton, senada dalam menolak untuk menjawab benar-tidaknya tuduhan tersebut.
"Yang menarik dari upaya menghentikan perahu-perahu tersebut adalah bahwa hal ini telah memperkuat hubungan dengan Indonesia," kata PM Abbott.
"Kami akan bertindak dalam kerangka hukum, sejalan dengan standar kita sebagai masyarakat beradab dan manusiawi, untuk menghentikan kedatangan perahu sebab... hal itu benar secara moral," jelasnya.
Namun baik PM Abbott maupun anggota kabinet lainnya, tetap menolak untuk membantah atau membenarkan tuduhan penyuapan tersebut.
PM Abbott mengatakan, "Posisi pemerintah yang tetap konsisten adalah tidak mengomentari rincian operasional di lapangan".
Meskipun tuduhan penyuapan ini baru mencuat beberapa waktu terakhir, namun menurut catatan ABC, pemerintahan terdahulu di Australia sebenarnya telah lama menjalankan taktik pengacauan.
Kepala badan intelijen ASIS, Nick Warner, di tahun 2012 menjelaskan peran lembaganya.
"ASIS juga berperan mengatasi aktivitas jaringan penyelundupan manusia yang mencoba menyelundupan manusia ke Australia," jelas Warner.
"ASIS berkontribusi dalam informasi dan keahliannya dalam banyak operasi yang sukses menghentikan operasi sindikat penyelundupan manusia," tambahnya.
Undang-Undang Intelijen memuat ketentuan bahwa agen-agen ASIS di lapangan tidak akan dituntut secara hukum jika melakukan pembayaran kepada penyelundup manusia sepanjang tindakan tersebut menjadi bagian dari kinerja agensi yang layak.
Saat Warner menyampaikan penjelasannya di tahun 2012, pemerintaha Australia waktu dikuasai Partai Buruh (yang kini beroposisi) di era PM Kevin Rudd dan PM Julia Gillard.
Saat ABC menanyakan agen-agen ASIS di era pemerintahan Partai Buruh pernah membayar penyelundup manusia, seorang juru bicara dari Partai Buruh mengatakan, "Mengungkap informasi intelijen merupakan tindakan ilegal baik bagi pemerintah maupun oposisi".
Namun saat pertanyaan yang sama diajukan kepada PM Abbott, ia menjawab, "Saya sangat yakin bahwa selama ini lembaga-lembaga intelijen Australia bertindakan dalam kerangka hukum".
"Saya ulangi lagi, dan anda bisa tanya saya berkali-kali, namun saya tetap mendukung lembaga-lembaga tersebut, dan tidak akan menyerang mereka," katanya.
Menteri Keuangan Mathias Cormann secara terpisah menuduh Partai Buruh hipokrit.
Sebab, kata Cormann, saat pemimpin Partai Buruh Bill Shorten ditanya apakah pernah terjadi pembayaran di era pemerintahan mereka, Shorten juga menjawab "tidak akan mengomentari masalah operasional intelijen dan keamanan nasional".