Jumat 26 Jun 2015 22:57 WIB

ICW Desak Presiden Supaya Berani Menolak Revisi UU KPK

Red: M Akbar
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch mendesak Presiden Joko Widodo untuk tetap konsisten mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu caranya dengan menolak gagasan DPR merevisi UU KPK.

''Kami mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan revisi UU KPK dengan DPR,'' kata Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Jumat (26/6).

Emerson menjelaskan usaha merevisi UU KPK sesungguhnya bukan kali pertama terjadi. Pada 2012, kata dia, hal yang sama dengan substansi serupa pernah diusulkan untuk dibahas di DPR. Pada 2012, kata dia, seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UU KPK. ''Kondisi ini berbanding terbalik dengan 2015 yakni seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK,'' ujarnya.

ICW menyorot secara garis besar ada lima isu krusial yang akan dimasukkan oleh DPR dalam naskah revisi UU KPK yaitu pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan "kolektif-kolegial", dan pengaturan terkait Plt Pimpinan KPK jika berhalangan hadir.

Menurut dia, posisi DPR yang setuju mempercepat pembahasan revisi UU KPK pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dengan alasan untuk memperkuat KPK tidak dapat diterima karena poin krusial yang akan diubah justru saat ini menjadi jantung kekuatan KPK.

"Keputusan ini telah memperburuk citra DPR di mata publik karena pada saat yang bersamaan DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per anggota," ujarnya.

ICW mengemukakan, patut diduga ada konflik kepentingan yang besar dibalik dukungan seluruh dewan yang hadir dalam rapat paripurna tersebut. ICW memaparkan, data KPK sejak 2004 hingga saat ini menyebutkan ada 76 politisi dari Senayan yang telah dijerat oleh KPK karena terlibat korupsi.

Selain itu, ujar dia, tuduhan DPR yang menyebut adanya "abuse of power" (penyalahgunaan kekuasaan) di KPK sebagai justifikasi pentingnya revisi UU KPK tidak didukung oleh bukti yang kuat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement