REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan dimasukan pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi Undang-Undang KUHP menuai pro dan kontra. Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harist Abu Ulya menilai hal tersebut sebagai langkah yang tidak bijak.
Menurutnya Harits Abu Ulya, dipersoalkannya RUU akan memperlihatkan realisasi politik pemerintah saat ini. Ia menilai pemerintah terkesan lebih merasa penting menjaga wibawa dibanding fokus bekerja untuk mensejahterahkan rakyat.
"Seolah menjadi hal urgent untuk menjaga wibawa dan wajah kekuasaan dibanding harus fokus bekerja yang bisa melahirkan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya," katanya.
Dia mengatakan, pengalaman masa Orde Baru yang diktator sudah cukup bagi rakyat Indonesia dan tidak perlu terulang kembali. Jika hari ini RUU tersebut dipersoalkan sedangkan tahun sebelumnya tidak, maka inilah realitas politik.
Politik dinamis seiring dengan kesadaran dan kecerdasan politik rakyat dalam melihat satu persoalan. Karena itu, menurutnya pemerintah tidak perlu memaksakan diri untuk sibuk menjaga wibawa kekuasaan karena rakyat butuh keadilan.
Ia menegaskan, jika keadilan seperti yang diinginkan rakyat terealisir, maka dengan sendirinya wibawa dan kharisma kekuasaan akan dimiliki oleh seorang pemimpin.