REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung disebut telah menambrak prosedur saat melakukan penggeledahan PT Victoria Securities Indonesia (VSI), pada Rabu (12/8) lalu. Direktur PT Victoria Securities Indonesia, Yangky Halim menilai tim Kejagung telah salah geledah subjek dan objek hukum terkait kasus dugaan korupsi senilai Rp469 miliar itu.
Yangky menegaskan, seharusnya tim Kejaging melakukan penggeledahan ke Victoria Securities International Corporation (VSIC) sebagai perusahaan asing yang melakukan pembelian aset BTN melalui BPPN pada tahun 2003.
Sebab, Victoria Securities Indonesia yang merupakan grup Victoria Investama bukanlah bagian dari Victoria Securities International Corporation (VSIC) yang melakukan Akad jual beli dengan BPPN pada 2003.
"Kami tidak ada hubungannya dengan Victoria Securities International Corporation. Perusahaan kami baru didirikan pada tahun 2011," ujarnya dalam keterangan pers, Senin (17/8).
Ia pun berani menjamin jika dalam akta pendirian pada notaris tidak ada unsur Victoria Securitas International Corporation. Yangky menambahkan, Victoria Securitas International Corporation merupakan badan hukum asing.
"Kami bingung kenapa justru kantor kami yang digeledah dan aset perusahaan juga disita Kejagung?," ucapnya.
Seperti diketahui, Tim gabungan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polda Metro Jaya menggeledah Kantor PT Victoria Sekuritas (VS) Indonesia di sekitar Senayan Jakarta terkait dugaan korupsi senilai Rp469 miliar.
Dalam pengeledahan yang dipimpin Kepala Subdirektorat Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejagung Sarjono Turin, penyidik gabungan itu berupaya mencari barang bukti sebagai proses penyelidikan terkait dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Sebanyak tujuh penyidik Kejagung dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menuju kantor PT VS Indonesia yang berlokasi di Lantai 8 Gedung Panin Bank Senayan Jakarta Pusat.
Dua hari sebelumnya, penyidik juga menggeledah kantor PT VS Indonesia dengan menyita barang bukti berupa seperangkat komputer dan dokumen elektronik lainnya. Sarjono menyatakan penyidik belum menetapkan tersangka dugaan korupsi itu karena masih meneliti barang bukti yang telah disita.
Kasus itu berawal saat PT Adistra Utama mengajukan kredit senilai Rp469 miliar untuk membangun perumahan seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat ke salah satu bank pemerintah.
Saat krisis moneter, bank yang memberikan pinjaman itu termasuk program penyehatan BPPN sehingga asetnya yang terkait kredit macet dilelang termasuk PT Adistra Utama yang dibeli PT VS Indonesia senilai Rp26 miliar.
Namun, ketika PT Adistra Utama akan membeli kembali PT VS Indonesia menetapkan harga senilai Rp2,1 triliun. Akhirnya, PT Adistra Utama melaporkan dugaan permainan dalam transaksi tersebut ke Kejagung.