REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Juru bicara pemerintah Thailand, Werachon Sukhondhapatipak mengatakan jenis bom yang menggunakan tiga kilogram peledak tinggi, tidak serupa dengan bom yang digunakan pemberontak Muslim.
Di samping itu belum pernah ada serangan besar oleh pihak pemberontak yang dilakukan di luar wilayah selatan selama pemberontakan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Perebutan kekuasaan di Bangkok diwarnai dengan serangkaian unjuk rasa berdarah serta pengeboman selama hampir satu dasawarsa.
Namun, tidak ada satupun aksi kekerasan itu yang menyamai skala serangan pada Senin. Unsur bersenjata dari kedua pihak, di kerajaan yang dibanjiri senjata kelas militer itu, diketahui sering memprovokasi kerusuhan di saat-saat penting.
Bom tersebut meledak sekitar pukul 18.30 waktu setempat di tengah jam sibuk kota itu, menimbulkan bola api ke langit sementara para komuter dan wisatawan berlarian karena panik.
"Saya melihat mayat-mayat bergelimpangan di tanah dan saya melihat kendaraan terbakar. Saya merasa sangat sedih ini terjadi pada rakyat Thailand," kata Panupan Chansing (20), pekerja hotel Gran Hyatt yang berlokasi di dekat kuil Erawan, Senin (17/8) malam.
Saat fajar menyingsing, warga Thailand mengungkapkan kekhawatirannya mengenai situasi dalam beberapa hari akan datang. "Saya khawatir dengan Bangkok, saya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti," kata seorang perempuan yang hanya dikenali sebagai Rivewan, kepada AFP.
Kelompok keras melancarkan serangan di berbagai tempat di negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk di pulau wisata Bali, Indonesia, pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Namun, mereka tidak pernah menjadikan Thailand target utama.
Pihak berwajib sepertinya juga mengabaikan kaitan dengan pemberontak Muslim di Thailand selatan dimana lebih dari 6.400 orang, sebagian besar warga sipil tewas dalam pemberontakan itu.
Pengamat memperkirakan akan terjadi rantai kerusuhan baru setelah militer merebut kekuasaan dari Yingluck Shinawatra dalam kudeta 2014. Thaksin Shinawatra yang digulingkan dalam kudeta 2006 berada di tengah-tengah perpecahan politik ini.