Sabtu 22 Aug 2015 00:09 WIB
Penggusuran Kampung Pulo

Sekilas Sejarah Kampung Pulo (1)

Rep: C34/ Red: Bayu Hermawan
Warga melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permukiman di Kampung Pulo yang selama ini menjadi 'langganan' banjir kini telah digusur. Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap mendengar warga yang tinggal di sana adalah orang-orang yang menduduki tanah negara. Namun ternyata sejarah pemukiman disana sudah ada jauh sebelum Indonesa merdeka.

Sebelum Republik Indonesia ini berdiri, ribuan warga telah bermukim di Kampung Pulo. Penduduk di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, itu telah ada sebelum tahun 1930.

Mayoritas warga adalah suku Betawi, namun sejak tahun 1970-an banyak warga pendatang dari daerah 'Kulon', Bogor, dan sekitarnya. Selain itu, terdapat etnis Tionghoa, juga warga keturunan Arab, Padang, dan Batak.

Pada masa kolonial Belanda, kampung tersebut merupakan bagian dari kawasan Meester Cornelis. Kampung seluas 8.575 hektar tersebut memiliki akar dan nilai sejarah antopologi kultural yang kuat.

Selama empat abad, Meester Cornelis Jatinegara adalah salah satu pusat fungsional pertumbuhan Kota Jakarta. Fakta historis tersebut berhasil dihimpun Ivana Lee, pendamping warga dari LSM Ciliwung Merdeka yang pernah melakukan penelitian di wilayah tersebut.

"Lokasinya strategis, dekat dengan stasiun kereta api, dan pasar skala regional," kata Ivana, yang aktif bergelut di LSM yang melakukan pendampingan dan advokasi secara intensif terhadap komunitas warga Kampung Pulo sejak tahun 2014.

Keberadaan sejumlah situs budaya religi dan tipologi arsitektur bangunan tempo dulu juga menjadi kekhasan Kampung Pulo.

Sejumlah makam lawas yang terdata di antaranya adalah makam Kyai Lukman nul Hakim/Datuk (sebelum 1930), makam Habib Said (sebelum 1930) yang masih ada hubungan keluarga dengan makam di Luar Batang, serta makam Kyai Kashim (sejak 1953).

"Dahulu Kampung Pulo memegang erat tradisi memakamkan anggota keluarga di lokasi rumah sendiri, sehingga sering kali ditemukan makam di dalam rumah," tutur Ivana.

Secara geografis, kampung dengan 3.809 KK tersebut dikelilingi sungai Ciliwung sepanjang kurang lebih 1,9 km. Kali membatasi antara Kampung Pulo dan Bukit Duri Tanjakan.

Dari kampung tersebut, banyak guru agama yang mengajarkan ilmunya kepada masyarakat Jakarta. Bahkan, Nyai Salmah, ibu dari seorang ulama besar Betawi Al Habib Ali Al Habsyi Kwitang berasal dari sana.

Di kampung tersebut hidup pula keturunan Habaib dari kalangan Al Aidrus yang ditokohkan, salah satunya Al Imam Al Ariefbillah Al Habib Husein bin Muchsin Al Aidrus. Ia wafat dan dimakamkan di Kampung Pulo hingga kampung tersebut lebih dikenal dengan nama Kramat Kampung Pulo.

Banyak orang menziarahi makam tersebut, dan sejumlah keturunannya juga menjadi juru dakwah. Beberapa di antaranya adalah Al Habib Sholeh Al Aidrus, Al Habib Muhammad bin Husein Al Aidrus, Al Habib Ibrohim bin Hamid Al Aidid, Syarifah Maimunah Al Jufri, serta banyak anak cucu Habib Husein lainnya.

"Terdapat pula musholla tertua Kampung Pulo, yaitu Al-Awwabin yang didirikan tahun 1927 serta rumah berlanggam Betawi yang diyakini sudah berusia lebih dari 100 tahun," ungkapnya. (bersambung)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement