REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan kredit perbankan 9,4 persen (yoy) pada Juli 2015, melambat dibandingkan bulan sebelumnya 10,5 persen. Total penyaluran kredit mencapai Rp 3.859,6 triliun.
Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, pertumbuhan kredit yang melemah dilatarbelakangi pelambatan domestik. Terutama pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2015 sebesar 4,67 persen, yang mencerminkan spending rumah tangga masih lemah.
Hal itu merefleksikan pertumbuhan kredit masih akan terus melambat. Selain itu, harga komoditas yang masih melemah menyebabkan para debitur yang begerak di industri mining terkena dampak lebih besar dibandingkan industri lainnya. Sehingga permintaan kredit dari sektor industri juga menurun.
Selain itu, penyerapan anggaran Pemda terbilang masih lambat. Proyek-proyek dari pusat hampir semua masuk ke daerah dan saat ini masih belum terlihat. Diharapkan pada akhir kuatal ketiga atau kuartal keempat pertumbuhan kredit bisa membaik lagi, seiring dengan langkah-langkah kebijakan makroprudensial.
Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan makroprudensial dengan perluasan definisi LDR menjadi LFR. Kemudian kebijakan penurunan rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to value/ LTV) untuk KPR dan KKB serta memberikan ruang batas atas untuk perbankan dengan menaikkan GWM-LDR menjadi 94 persen.
"Dengan demikian saya pikir di semester kedua bisa improving seiring dengan ekspektasi membaiknya pola penyerapan anggaran pemerintah khususnya infrastruktur yang menjadi kendala selama ini," jelasnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (7/9).
Percepatan pembangunan infrastruktur diharapkan bisa menumbuhkan spending dari masyarakat. Perepatan belanja pemerintah akan mendorong privat sector spending dan investasi ke depan. Sampai akhir tahun diperkirakan kredit akan tumbuh si kisaran 10-12 persen (yoy).
Dengan asumsi penyerapan anggaran lebih bagus dan dari sisi proyek-proyek pemerintah lebih cepat progresnya. "Makanya saya pikir paling cepat di kuartal keempat mulai terliat ada perbaikan kreditnya sendiri," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bank Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, masih optimistis kredit bisa tumbuh di kisaran 12-14 persen. Tapi secara individu disesuaikan kemampuan bank masing-masing.
Menurutnya, yang bisa mendorong kredit adalah kinerja dari sektor riil. Agar menimbulkan sentimen positif kebijakan pemerintah diminta mendorong penyaluran kredit.
"Sektor keuangan sudah memberi insentif kalau sektor riil enggak ngasih insentif ya enggak jalan. Jadi insentif dari sektor riil diberikan, karena tidak bisa hanya bank saja yang diharapkan, karena bank mengikuti sektor riil," jelasnya.
Sigit menjelaskan, pertumbuhan kredit lebih rendah karena ekonomi sedang melemah. Pertumbuhan kredit turun karena permintaan kredit turun. Bukan salah banknya karena sektori riil, pengusaha atau debitur sebenarnya tidak memerlukan kredit lebih banyak. Saat pertumbuhan ekonomi naik debitur akan butuh kredit lebih banyak sehingga pertumbuhan kredit ikut naik.
Para debitur menunda permintaan kredit karena khawatir terhadap penjualan. "Mereka menunda karena mereka yang punya pabrik empat lini yang jalan tiga lini karena permintaan penjualan menurun, untuk apa pinjam ke bank pasti dikurangi pinjaman ke bank," ujarnya.