Rabu 07 Oct 2015 12:35 WIB

Hasil Korupsi 'Dihalalkan' dalam RUU Pengampunan Nasional

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bayu Hermawan
Demo anti korupsi
Foto: Ismar Patrizki/Antara
Demo anti korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa anggota DPR mengusulkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional untuk menjadi inisiatif DPR RI.

RUU Pengampunan ini menuai pro-kontra, sebab RUU ini dinilai tidak adil untuk warga negara yang taat membayar pajak. Bahkan, dalam draf RUU Pengampunan Nasional tidak memasukkan tindak pidana korupsi sebagai pengecualian yang tidak dapat memeroleh pengampunan pajak.

Di Pasal 10 huruf a berbunyi selain memperoleh fasilitas dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, orang pribadi atau badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia.

Artinya, pribadi atau badan berpeluang mendapatkan pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan dari hasil korupsi. Sedangkan di Pasal 9, orang pribadi atau badan yang mendapatkan pengampunan nasional dapat memeroleh fasilitas berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang Pengampunan Nasional ini diundangkan.

Dengan isi draf RUU Pengampunan Nasional seperti ini, Gerindra secara tegas menolak untuk menyetujui RUU ini menjadi inisiatif DPR. Bahkan, secara tegas, politikus Partai Gerindra Aryo Djojohadikusumo menyatakan akan terus menolak RUU Pengampunan Nasional.

Menurutnya, RUU ini dinilai tidak adil. Sebagai pihak yang mengaku taat membayar pajak, Aryo dengan keluarga Djojohadikusumo menegaskan tidak akan membiarkan para pengemplang pajak di Indonesia dibiarkan.

"Saya dan fraksi Gerindra menolak sampai kapanpun pengemplang pajak diampuni," tegasnya.

Di RUU yang diusulkan beberapa anggota dari fraksi PDIP, Golkar, PKB dan PPP ini juga tegas menyebutkan di pasal satu ayat satu soal arti pengampunan pajak. Yaitu, penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana dibidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.

Selanjutnya, di Pasal 4 draf RUU Pengampunan Nasional, dijelaskan secara detail soal besaran uang tebusan. Di ayat 1 uang tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan Oktober 2015 sampai Desember 2015 sebesar 3 persen.

Ayat 2, tarif uang tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasio0nal bulan Januari 2016 sampai Juni 2016 sebesar 5 persen. Di ayat 3, tarif uang tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan Juli 2016 sampai Desember 2016 sebesar 8 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement