REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menilai Pimpinan DPR tidak perlu konsultasi dengan Presiden Joko Widodo, terkait rencana revisi UU 30/2002 tentang KPK. Alasannya, UU tersebut sudah masuk Proyeksi Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
"Pimpinan DPR tidak perlu konsultasi dengan Presiden, untuk apa. Ini (revisi UU KPK) sudah menjadi kesepakatan (masuk dalam Prolegnas 2015)," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (12/10).
Benny mengatakan, jangan menjadikan rencana revisi UU KPK itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga pimpinan DPR tidak perlu melakukan konsultasi dengan presiden terkait hal tersebut.
Menurut dia, hal itu bukan soal keputusan Presiden karena sudah menjadi kesepakatan, Presiden saat ini posisinya mau tetap melakukan revisi UU KPK atau tidak.
"Tergantung isinya, kalau revisi untuk memperlemah KPK, Demokrat menolak dan saya yakin Presiden juga menolak," ujarnya.
Namun dia menjelaskan, kop draf revisi UU KPK adalah Presiden RI, sehingga ia menilai revisi UU KPK yang memperlemah institusi KPK berasal dari Presiden.
Menurut politikus Partai Demokrat itu, anggota DPR menggunakan draf revisi UU KPK versi pemerintah yang diusulkan menjadi hak inisiatif DPR.
"Itu kan kop (draf revisi UU KPK) adalah Presiden RI, lalu digunakan para anggota DPR untuk menggunakannya sebagai usul hak inisiatif DPR," katanya.
Benny menilai apabila revisi itu mau dilakukan maka harus dimaksudkan untuk memperkuat KPK dan juga institusi penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Selain itu, menurut dia, revisi UU KPK harus bertujuan meningkatkan sinergi dan koordinasi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung serta lembaga pemberantasan korupsi lainnya.
"Korupsi di Indonesia tidak bisa mengandalkan KPK sendiri untuk memerangi korupsi sehingga dibutuhkan sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum yang lain," ujarnya.
Dia menilai draf revisi UU KPK yang beredar saat ini, sangat jelas bertujuan memperlemah KPK karena indikasinya terlihat dengan mereduksi kewenangan KPK untuk melakukan pencegahan dan penindakan.
Dalam revisi itu, menurut dia, KPK diperbolehkan hanya menangani kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya diatas Rp50 miliar.
"Lalu kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi. Kami ingin kewenangan ini diperkuat dengan memperkuat sistem pengawasannya," katanya.