REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan pembahasan Panja Belanja Pusat dan Daerah akan selesai dalam pekan ini. Fahri menyebut ada keinginan dari pihak tertentu agar RAPBN 2016 segera disahkan.
"Padahal batas akhirnya 30 Oktober 2015, sedangkan Presiden Jokowi akan ke Amerika tanggal 23 Oktober," ujar Fahri Hamzah di Jakarta, Selasa (20/10).
Perginya Jokowi ke Amerika mengundang pertanyaan terkait deal-deal penting termasuk soal perpanjangan kontrak PT Freeport. Bahkan, pembahasan RAPBN 2016 cenderung berlangsung lambat dan kurang dinamis sebagaimana pembahasan-pembahasan APBN pada periode sebelumnya.
Fahri berpendapat, seharusnya DPR saat ini khususnya Banggar lebih kritis. "Sebab sejak APBNP 2015, pemerintah Jokowi-JK banyak diberi kemudahan. Pemerintah mengajukan perubahan asumsi makro akibat kondisi perlambatan ekonomi domestik dan depresiasi mata uang rupiah yang tajam," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga merevisi target pertumbuhan dari 5,5 persen menjadi 5,2 persen, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp 13.400 menjadi Rp 13.900.
"Adanya perubahan asumsi tersebut, seharusnya pemerintah melakukan perubahan terhadap proposal anggaran yang sudah disampaikan sebelumnya," ujar dia.
Politikus PKS ini menilai, realisasi penerimaan sektor perpajakan sampai dengan 31 Agustus 2015 baru mencapai 46 persen. Maka usulan target penerimaan sektor perpajakan 2016 sebesar Rp 1.564,7 triliun tidak realistis.
Terkait dengan pembahasan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tidak digali secara mendalam, menurutnya sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L) belum mengoptimalkan PNBP. Postur RAPBN 2016 yang dihasilkan pun kurang maksimal dengan beberapa catatan.
Pertama, masih kata Fahri, penerimaan negara menurun dari Rp 1.848,10 triliun menjadi Rp 1.822,5 triliun. Kedua, belanja negara berkurang dari Rp2.121,3 triliun menjadi Rp 2.095,7 triliun.
"Dengan defisit menjadi 2,15 persen. Belanja K/L tetap meningkat dari Rp 780 triliun menjadi Rp 784 triliun. Tetapi pemerintah melakukan kebijakanpenundaan belanja K/L sebesar Rp 21,3 triliun. Ini menjadi masalah," ucap dia.
Seharusnya Banggar DPR RI, lanjutnya, memberikan catatan yang kuat, dan merevisi hal tersebut. "Selain itu, PMN kurang mendapat tanggapan dari Banggar DPR-RI. Banyak catatan yang seharusnya disampaikan. Kecenderungan ekspansi Menteri Rini Soemarno perlu dicermati. Jangan sampai jadi beban di masa depan," kata dia mengakhiri.