REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah dalam waktu singkat dinilai tidak berdasarkan konsep ekonomi yang jelas dan tidak direncanakan secara matang.
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo mengatakan, pemerintah terkesan hanya menambal sulam kebijakan yang sudah ada, kemudian mengemasnya dengan istilah paket kebijakan ekonomi. "Paket kebijakan itu bukan sesuatu yang istimewa tetapi dikemas saja dalam istilah paket kebijakan sehingga seolah-olah menjadi angin segar bagi ekonomi yang sedang terpuruk," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (23/10).
Menurut anggota Fraksi Gerindra DPR tersebut, revisi regulasi dan penerbitan peraturan baru dalam jumlah besar dalam waktu sangat singkat sekitar sebulan justru menunjukkan pemerintah tidak memiliki grand design atau konsep ekonomi yang jelas.
"Seharusnya tidak terburu-buru sebab bisa berdampak negatif bagi perekonomian di masa mendatang. Yang diharapkan bukan banyaknya paket, tetapi efektivitas dan manfaat riilnya bagi rakyat," ujarnya.
Dia juga menilai paket kebijakan I, II, III, IV, hingga V dan kemungkinan disusul dengan paket-paket selanjutnya tidak akan berdampak besar terhadap perekonomian nasional, termasuk nilai tukar rupiah. "Penguatan rupiah lebih disebabkan kondisi ekonomi Amerika Serikat, dan intervensi Bank Indonesia yang menggrojok pasar uang sebab tidak mungkin rupiah bisa menguat hingga 1.000 poin dalam sehari," ujarnya.
Bambang mengkhawatirkan apresisasi nilai rupiah yang tidak fundamental itu akan menjadi bumerang bagi perekonomian, apalagi permintaan dolar AS diprediksi melonjak lagi menjelang akhir tahun karena pinjaman dunia usaha akan jatuh tempo.
"Buktinya, rupiah kembali melemah dalam beberapa hari terakhir. Gejolak nilai tukar yang tajam seperti ini tidak bagus karena menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha," ujarnya.