REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Golkar, Mahyudin mengatakan silaturahmi nasional (Silatnas) hanya akan menjadi peristiwa tanpa arti, jika tidak diikuti oleh tindak lanjut dari kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono untuk membangun persatuan Partai Golkar.
"Kalau Silatnas itu rasanya hambar, gak ada tindak lanjut, kalau semua pihak masih mengotot, hanya cipika-cipiki aja," katanya di Jakarta, Jumat (6/11).
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR itu mengatakan, dibutuhkan tenggang rasa dan saling mengalah dalam menyelesaikan masalah Golkar. Untuk itu, ia menyarankan agar masing-masing pihak tidak menyandarkan pada keinginan berkuasa, namun melakukan rekonsiliasai dan negosiasi.
Dalam pandangan dia, ada empat skenario yang dimungkinkan. Partama kubu Agung Laksono mengalah, kedua kubu Aburizal Bakrie mengalah, ketiga menggabungkan diri dan keempat tetap menempuh jalur hukum.
Mahyudin menyatakan, bila Golkar terus bertengkar sendiri maka dipastikan suara pada 2019 akan semakin melorot sebab akan banyak kehilangan kader, dan kurang menggarap massa pemilih pemula.
"Sementara pemilih-pemilih yang tua lima tahun mendatang akan berkurang," katanya.
Ke depan pertarungan dalam pemilihan legislatif, menurut dia, semakin sengit seiring dengan tumbuhnya partai baru yang berpotensi merebut pemilih pemula. "Kalau tidak secepatnya diselesaikan ya ini akan semakin rumit bagi Golkar," katanya.
Secara pribadi, dia mendukung musyawarah nasional segera mungkin guna memperteguh persatuan Golkar.
Sebelumnya, Partai Golkar menggelar silaturahmi nasional yang dihadiri oleh kedua kubu, kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono pada 1 November 2015.
Silatnas digelar setelah sebelumnya Mahkamah Agung memenangkan kubu Aburizal Bakrie meski tidak menyatakan Munas Bali 2014 (yang menghasilkan Ketua Umum Aburizal Bakrie) sah.
Namun putusan MA tersebut mengembalikan kepengurusan hasil Munas Partai Golkar di Riau 2010 dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai kepengurusan yang sah.