REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG – Setiap negara di dunia, termasuk Indonesia, harus dapat mengambil pelajaran dengan apa yang terjadi di Timur Tengah terkait pengelolaan energi. Melimpahnya sumber daya alam, yakni minyak bumi dan gas, bila salah kelola malah hanya mendatangkan konflik bersenjata yang serius di dalam masyarakatnya.
“Pelajaran yang bisa dipetik dari krisis yang muncul di Timur Tengah itu adalah dinamika pembangunan yang semakin masif dan intesnsif di manapun hari ini tak dapat menafikan keberadaan minyak bumi dan gas. Bahkan eksis, maju, dan berlangsungnya pembangunan berkelanjutan msangat ditentukan dari ketersediaan sumber daya energi beserta seluruh cadanganya di dalam perut bumi suatu negara,’’ kata Effendi MS Simbolon sidang promosi doktor di bidang Ilmu Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran (Unpad) Selasa (24/11).
Dia berhasil mempertahanan disertasinya yang berjudul ‘‘Peran Kerja Sama Internasional Indonesia Dalam Meningkatkan Kedaulatan Energi’.
Effendy yang di akhir sidang oleh dewan penguji disertasi kemudian mendapat predikat kelulusan ‘Cumlaude’, mengatakan, sebagai negara yang berdaulat makan Indonesia mau tidak mau harus dapat menciptakan ketahanan energinya sendiri. Dan salah satu ciri bahwa negeri ini mempunyai ketahanan energi adalah bila Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dalam kurun waktu tertentu.
Lantas, apakah Indonesia mampu menciptakan sendiri ketahanan energi? Jawabannya, sebetulnya Indonesia mampu untuk menuju ke kondisi tersebut. Namun, sampai saat ini, kalau diasumsikan semua energi sudah dipunyainya, pada kenyataannya ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam waktu tertentu, misalnya dalam kurun satu bulan.
'‘’Fakta ini membuat posisi ketahanan energi Indonesia lemah dan membuat kita tergantung pada negara lain karena harus banyak mengimpor energi. Akibatnya, harga bahan bakar (energi) menjadi mahal serta harus mengikuti naik turunya harga komoditas energi di pasaran dunia,’’ ujarnya.
Melihat kenyataan masih lemahnya ketahanan energi Indonesia, Effendy menyatakan dari hasil penelitian yang dilakukannya maka ke depan harus mulai dipikirkan lagi bagaimana cara membuat format kerja yang sifatnya tak hanya mengukur masalah kontrak dan pembagian, tetapi juga diarahkan kepada masalah pengembangan.
‘’Artinya, kalau pihak asing diperbolehkan investasi di bidang tertentu, namun harus ditugaskan adanya syarat bahwa mereka harus berinvestasi dengan nilai mislnya setengahnya (50 persen-nya) di bidang pengembangannya,’’ kata Effendy seraya mencontohkan sistem pengeloaan eksplorasi pertambangan minyak dan gas di Timur Tengah yang kini telah meninggalkan sistem ‘kontrak karya’ diganti dengan memakai sistem ‘lisensi’.
Terkait hasil disertasi Efendy Simbolon, Rektor Universitas Padjajaran Tri Hanggono meminta agar dia tak hanya berkarya sekali saja ketika ingin mengejar gelar doktor. Dengan pengalaman dan kiprahnya yang panjang di berbagai bidang pemikiran Effendy sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hubungan internasional di Indonesia.
“Penelitiannya berikutnya kami akan terus menunggunya. Soal pendanaan kami di Unpad tak segan untuk menyediakan,’’ kata Tri.