REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Nasihin Masha Pemimpin Redaksi Republika
Hari ini, Republika tepat berusia 23 tahun. Seperti pada edisi perdana pada 1993, 4 Januari 2016 ini juga jatuh pada Senin. Ini sebuah perjumpaan yang langka: hari, tanggal, dan bulan sama. Hari, tanggal, dan bulan pada tahun ini sama dengan 23 tahun lalu.
Namun, suasana kebatinan media cetak sedang coba dibawa pada kesuraman. Pada awal 2016 ini ada berita tentang kematian sejumlah media cetak, seperti Sinar Harapan dan The Jakarta Globe, serta tutupnya edisi Ahad sebuah koran. Tulisan wartawan senior sebuah koran dalam sebuah kolomnya pada akhir tahun lalu juga menggaungkan sinyal surutnya media cetak. Judulnya sangat memelas, bertanya secara retoris tentang “senja kala kami”.
Hadirnya media daring (online) yang secara terusmenerus diperkuat oleh revolusi dalam dunia teknologi informasi yang makin portable membuat media cetak menjadi semakin terpontal-pontal. Media daring bisa dibaca di mana saja dan kapan saja. Informasinya bisa seketika, terus diperbarui, bisa interaktif dan partisipatif, dan mampu menjangkau pembaca secara jauh lebih luas. Dan yang tak kalah penting: gratis. Modalnya cuma pulsa dan gawai— memang untuk dua hal ini berbayar tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern.
Betulkah semua itu akan mematikan media cetak? Seorang akademisi Ame rika Serikat, Philip Meyer, memang pernah memprediksi bahwa surat kabar di AS akan berakhir pada 2043. Apalagi kemudian saat krisis keuangan pada 2009 sejumlah media massa bertumbangan. Hal itu terus berlanjut hingga kini.
Rupert Murdoch, baron bisnis media massa, pernah berucap bahwa ke untungan di bisnis media cetak seperti “aliran sungai emas”. Hal itu ia ungkapkan ketika ia rajin berekspansi bisnis media di AS dan banyak negeri lainnya. Namun, beberapa tahun lalu dia berucap, “Kadang sungai mengering.” Pernyataannya diperkuat oleh Warren Buffet, konglomerat dari AS. Katanya, jika TV kabel dan TV satelit sebagus internet, koran tak akan ada lagi.