REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- JAKARTA -- Pengamat politik asal Universitas Airlangga, Haryadi, tidak adanya ketegasan dalam aturan hukum dan regulasi membuat konflik dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP berlarut-larut.
''Pangkalnya ada di aturan main hukum. Muara pertamanya tentu ada di AD-ART masing-masing partai. Kedua, aturah hukum kepartaian yang ada harus dibuat lebih tegas,'' ujar Haryadi, Jumat (8/1).
Lebih lanjut, Haryadi mengungkapkan, saat ini di aturan hukum dan regulasi yang ada soal UU Kepartaian dan UU Pemilihan Umum, tidak mengatur solusi jika ada partai yang berkonflik. Parpol dituntut harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri sebelum bisa terjun ke arena Pemilihan Umum, baik di Pilkada maupun Pileg.
''Jika aturannya tegas, konsekuensi logisnya, mereka tidak bisa ikut pemilihan. Sehingga mereka akan berkepentingan untuk melakukan penyelesaian dualisme kepengurusan,'' kata Haryadi. Tetapi, pada kenyataannya, ada kompromi terhadap parpol berkonflik.
Tidak hanya itu, lanjut Haryadi, imbas dari tidak tegasnya aturan hukum dan regulasi tentang konflik dualisme kepengurusan partai, keputusan-keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) terkait dualisme kepengurusan akan terus digugat. Namun, Haryadi menilai, tetap ada kemungkinan motif politik dalam setiap keputusan Menkumham tersebut.
''Tentu saja ada motif politik. Tapi kan keputusan politik apapun harus tetap merujuk kepada aturan main hukum dan regulasi yang ada. Jika aturan yang ada tidak tegas, sumir, dan ambigu, maka peluang untuk bermain politik masih ada atau keputusan apapun yang diambil akan mudah sekali disangkakan bermuatan politis,'' ujarnya.