Kamis 28 Jan 2016 04:54 WIB

Sejumlah Eks Gafatar Kebingungan Setelah Dipulangkan

  Petugas membantu warga eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang baru turun dari KRI Banten saat tiba di Pelabuhan Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (27/1) (Republika/Yasin Habibi).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas membantu warga eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang baru turun dari KRI Banten saat tiba di Pelabuhan Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (27/1) (Republika/Yasin Habibi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG, -- Sejumlah mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mengaku kebingungan sepulang mereka kembali ke daerah asal karena sudah tidak memiliki apa-apa.

"Saya pergi ke Kalimantan itu untuk mengubah nasib. Di sana (Ketapang) kan harga tanah masih murah," kata Budianto (41), salah satu eks-Gafatar saat ditemui di Semarang, Rabu malam.

Ayah tiga anak itu merupakan salah satu dari 1.281 eks-Gafatar asal Medan, Sumatera Utara, yang dipulangkan dari Ketapang, Kalimantan Barat, melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

Rombongan eks-Gafatar yang terdiri atas 860 orang dewasa, 329 anak-anak, dan 92 bayi itu diangkut menggunakan KM Dharma Ferry 2 dan merupakan gelombang kedua yang tiba di Semarang.

Gelombang pertama kedatangan eks-Gafatar dari Kalimantan, tercatat sebanyak 359 orang yang diangkut menggunakan KRI Teluk Gilimanuk dan tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang Senin (25/1) lalu.

Budianto yang mengaku baru dua bulan di Ketapang atas keinginan sendiri itu mengatakan hartanya sudah habis untuk diinvestasikan di Ketapang sehingga bingung jika dipulangkan ke Medan.

Senada, Yusuf (38) yang juga eks-Gafatar asal Medan mengaku sudah menjual rumahnya di Medan senilai Rp184 juta untuk dipakainya sebagai modal mengembangkan pertanian di Ketapang. "Saya baru lima bulan di sana (Ketapang). Rumah saya di Medan sudah dijual sehingga tidak punya rumah lagi. Kalau harus kembali ke Medan, saya belum tahu mau berbuat apa," ungkapnya.

Baca juga, Pemulangan Eks Gafatar Tanggung Jawab Pemda.

Ayah dua anak itu menceritakan aktivitas sehari-harinya di Ketapang adalah bertani, baik padi dan sayuran yang sebenarnya sebentar lagi panen, namun terpaksa harus ditinggal. "Aktivitas keagamaan di sana juga sama saja. Yang mau ke masjid, ya, di sana ada masjid. Yang mau ke gereja, ya, ke gereja," kata mantan karyawan rumah pemotongan hewan (RPH) itu.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement