REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Federasi Serikat Guru Republik Indonesia (FSGI) menyatakan apresiasinya atas dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015.
Peraturan ini menjelaskan tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti, permendikbud tersebut nampaknya yang dihukum lebih kepada guru dan sekolah.
“Termasuk siswanya,” ujar Retno saat diskusi panel tentang sekolah aman-anti kekerasan di Senayan, Jakarta, Senin (29/2).
Menurut Retno, dinas pendidikan juga perlu diberikan sanksi apabila tidak berhasil menyelesaikan kasus kekerasan di wilayahnya. Hal ini sangat perlu dilakukan mengingat kewenangan pendidikan dilakukan secara otonomi daerah.
“Disdik juga dong, karena selama ini kita terhalang di disdik sejak otonomi daerah berlaku,” kata Retno.
Pada kesempatan sama, Direktur Permbinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Supriono menceritakan tentang kasus pelajar di salah satu daerah. Di wilayah tersebut ditemukan seorang pelajar hamil, bahkan sudah melahirkan dan dikeluarkan dari sekolahnya.
Pelajar tersebut sulit menemukan sekolah yang mau menerimanya padahal dia masih memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara dinas pendidikan setempat nampak takut untuk menyikapi hal tersebut.
“Hingga akhirnya si anak bisa sekolah walaupun lokaisnya 20 kilometer dari tempat tinggalnya,” terang Supriono.
Menurut Supriono, disdik memang harus mendapatkan sanksi jika tidak mampu menangani penyimpangan di sekolah-sekolah yang berada di naungannya. Dana bantuan mereka bisa diblokir oleh pusat. Supriono mengetahui benar tindakan ini memang nampaknya tidak adil tapi ini memiliki dampak positif.
“Sehingga dinas jadi lebih hati-hati,” kata Supriono.