Ahad 20 Mar 2016 17:01 WIB

Kedaulatan Pangan Masih Terkendala Politik

Rep: debbie sutrisno/ Red: Taufik Rachman
Petugas menunjukkan buah jeruk impor yang berada dalam Kontainer di Terminal Peti Kemas Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/3).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Petugas menunjukkan buah jeruk impor yang berada dalam Kontainer di Terminal Peti Kemas Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas menyatakan,

bahwa ide atau gagasan kedaulatan pangan ide merupakan ide baik. Namun ide ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada perubahan dari sisi politik.

Andreas menilai kondisi perpolitikan di Indonesia sering kali membuat pemerintah kesulitan menjalankan program-program bagi masyarakat luas.

"Sudah 40 tahun terakhir ini politik pangan berubah menjadi politik beras. Diversifikasi pangan yang sering didengungkan berakhir di peningkatan konsumsi pangan berbahan gandum yang hampir 100 persen di impor," papar Dwi, Ahad (20/3).

Selain itu ide dalam penambangan mocaf (modified Cassava) pun berakhir tidak jelas. Sebab tepung mocaf malah didesain lebih mahal dibanding gandum. Semua hal ini masih berkaitan dengan sistem politik yang membuat masyarakat hinga saat ini tidak sejahtera dalam hal ketahanan pangan.

Kesulitan kedaulatan pangan pun tidak akan bisa dilakukan untuk produksi pangan seperti bawang, sapi, atau pangan lainnya. Untuk itu pemerintah dan semua stalholder terkait sebaiknya segera melakukan koordinasi secara baik sehingga politik tidak menjadi penghalan dalam mewujudkan kedaulatan pangan di 100 tahun Indonesia merdeka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement